KOTA ONLINE (KUPANG) – BISA dipastikan masyarakat Maluku Barat Daya (MBD) terus tercerai berai. Hari ini warga sedang berada di tepi jurang perpecahan, tinggal menunggu dijerumuskan dengan manajemen yang sedang dikonstruksikan Bupati terpilih. Keharmonisan warga serumpun, sesuku dan satu budaya yang terjaga selama berabad-abad begitu gampang berantakan, akibat salah menentukan sikap politik. Mereka memilih pemimpin yang tidak memiliki kemampuan mengayomi, tidak berkemampuan merangkul bahkan, tidak punya kharima mempersatukan. Pemimpin sekarang boleh disebut lahir akibat ada kolaborasi kepentingan politik yang sangat kuat dan sistemik. Lebih besar kepentingan kelompok dan pribadi terjadi dalam koalisi itu.
Artinya jauh dari nilai-nilai solidaritas sosial, jauh dari paham-paham budaya, kultur dan etika. Bergesar jauh dari nilai-nilai kearifan yste. Tidak menghafal betul jiwa dan semangat yang tersirat dalam Pancasila dan Udang-Undang Dasar 1945. Ironisnya lagi, dalam setiap kesempatan, Barnabas malah mengutip penggalan-penggalan firman Tuhan dalam Kitab Suci yang justru sekedar pembungkus kejahatan terselubung. “Ibarat membungkus arang hitam dengan kain putih”.
Kebijakan Kontroversial
Ada beberapa kebijakan bupati terpilih yang terkesan tiba-tiba, tanpa melalui sebuah kajian ilmiah yang kapabel, dan tanpa melalui suatu pertimbagan kemanusiaan yang mengikat. Tetapi, kebijakan itu cenderung apriori bahkan, rendah tingkat kualitas berpikirnya. Jika dicermati secara kritis, kebijakan lebih mengarah pada penerapan sikap balas dendam, juga menjawab kebutuhan politik jasa kelompok pendukung.
Kebijakan itu ialah, pertama, memotong karier beberapa birokrat handal yang berpengalaman dalam pemerintah. Itu terjadi dalam hitungan detik sesaat setelah dilantik. Pejabat itu yakni, Kepala Bappeda, Kadis BKD, Kadis PU dan Kadis Keuangan. Kedua, memotong TKD dan uang lauk pauk seluruh PNS, mulai dari PNS rendah sampai yang paling tinggi. Ketiga, berencana memindahkan ibukota MBD dari Wonreli ke Tiakur dalam hitungan 100 hari kerja bupati terpilih, terhitung sejak dilantik.
Kebijakan ini secara diam-diam mendapat perlawanan, baik dari masyarakat MBD maupun dari seluruh PNS yang merasa hak-hak mereka dizolimi tanpa kompromi. Salah satu tokoh masyarakat MBD, Johannis A. E. Petrusz, mengakui bahwa, penolakan itu mencuat dalam ystem asmara (aspirasi masyarakat) dengan anggota DPRD Welem Lerick di Kantor Camat Wonreli, belum lama ini.
“Wah… luar biasa. Semua guru, dan PNS di kecamatan PP ter-Selatan mempertanyakan kebijakan bupati yang tidak memperhatikan kemelaratan PNS di daerah terpencil. Dengan secara sepihak mau memotong TKD dan ULP PNS rendahan. Saya juga tidak setuju dengan sikap Barnabas itu. Dia mesti lebih tahu dong…, kondisi PNS di daerah terpencil ini,” kata Hanny, demikian sapaan, tokoh MBD ini.
“Kalau dia mau membangun fisik, bukan dengan cara memotong hak-hak dari PNS itu. Dia bisa mensiasati tambahan dana dari sumber lain, tapi bukan dengan cara pendek seperti itu. Barnabas juga harus mempertimbangkan suasana batin anak-istri dan keluarga para PNS yang selama menderita. Jika itu menjadi hak isteri anak selama ini, lalu dipotong, kan itu kebijakan yang mematikan. Mesti dibicarakan dengan DPRD terlebih dahulu, karena DPRD adalah representasi dari masyarakat ini,” jelasnya. Tunjangan Kesejahteraan Daerah (TKD) para guru dan PNS di lingkungan Pemkab MBD bersumber dari Dana Alokasi Umum (DAU).
Sementara itu Wakil Bupati MBD Ir. Johannis Letelay, M.Si Ketika dikonfirmasi membenarkan rencana pemotongan TKD dan ULP para PNS di MBD. Namun menurut Letelay, pemeritahannya masih perlu melakukan rasionalisasi terhadap rencana itu. Apakah perlu dilakukan atau tidak. “Ya, itu Cuma omong-omong saja. Kita belum melakukan sesuatu. Masih terus dikaji,” jelas Anis demikian sapaannya.
Soal Pergantian Beberapa Pejabat
Menarik untuk ditelusuri, kebijakan pemimpin terpilih hasil Pilkada pertama MBD, yang mencopot beberapa pemimpin Badan maupun Dinas yang paling strategis dari jabatannya, semisal Ir. Welem Mhaahury, M.Si Kepala Bapeda digantikan oleh Utha Kabalmai, mantan calon Wakil Bupati yang tidak terpilih, yang kemudian berkoalisi dengan Paket Orleta, lalu memboyong ke Jakarta, ini merupakan tindakan provokatif.
“Pengangkatan Utha Kabalmai sebagai Kepala Bappeda yang baru, diduga, sebagai ucapan terima kasih atas jasa politik yang terjadi, lewat koalisasi besar ketika putaran kedua Pilkada berlangsung. Ini wajah seorang pemimpin yang tidak dewasa dan tidak memiliki jiwa pemersatu. Sikap Barnabas ini justru lebih memelihara konflik di kalangan masyarakat. Sebenarnya kita harap, Barnabas tampil sebagai tokoh pendamai,” ujar salah seorang warga MBD.
Tidak Memiliki Standar Berpikir Jelas
Pemimpin MBD terpilih, terkesan tidak memiliki konsep dan standar berpikir yang jelas tentang arah pembangunan kabupaten kepulauan itu. Ada kesan sekedar mengadopsi gagasan orang, konsep berpikir pemimpin di tempat lain untuk diterapkan di wilayah yang baru terpisah dari Maluku Tenggara Barat (MTB) tiga tahun silam.
Program 100 hari memindahkan aktifitas pemerintahan dari Wonreli-Kisar ke Tiakur, sebuah lokasi yang kosong-melompong, penuh semak belukar, belum berpenduduk, belum ada satupun fasilitas dan sarana-prasana umum, merupakan pikiran dadakan, ide gila, terkesan tidak waras dan sekedar membual terhadap pendukung yang sudah memilih mereka. Pertanyaan: Prestasi pelayanan ystem seperti apa yang mau diraih dari program 100 itu…?
Untuk merealisasi program 100, pemimpin MBD yang baru dilantik 27 April 2011, berencana memotong Tunjangan Kesejahtraan Daerah (TKD) PNS se-MBD tanpa kecuali, sebesar Rp 800.000. Sumber-sumber PNS di lingkup Pemkab MBD menyebutkan, pemotongan TKD itu dimaksudkan untuk kredit perumahan BTN (RSS) rumah sangat sederhana di lokasi calon ibukota yang baru.
Memang sebagai pemerintah, apapun langkah yang diambil dianggap sah, sepanjang tetap mempertimbangkan azas keseimbangan hak. Pemotongan uang kesejahteraan para PNS yang dilakukan tanpa kompromi demi rencana membangun perumahan di sebuah lokasi kosong, jika tidak diikuti dengan kebijakan lain menyangkut peningkatan mutu dan kualitas pelayanan bagi para PNS di lokasi yang baru ibarat ‘mengurung kerbau’ dalam kandang.
Rekonsialiasi Program Primer
Mestinya diawal pemerintahan bupati terpilih MBD, program utama adalah lebih dulu merangkul semua komunitas warga Selatan Daya untuk mempersatukan. Perlu ada saling terbuka di kalagan masyarakat MBB, mesti menciptakan momen kembali merefleksikan berbagai perbedaan pendapat soal letak ibukota kabupaten yang justru mengakibatkan ketidak-harmonisnya hubungan persaudaraan yang terjaga selama berabad-abad.
Proses menyamakan persepsi antar seluruh komunitas di MBD ini, mesti difasilitasi oleh minimal pemimpin formal. Ada dua saja manfaat besar yang diperoleh dari proses rekonsiliasi itu, yakni, pertama; kepemimpinan pemerintahan terpilih berjalan dapat mulus karena tidak ada lagi silang sengketa tentang letak ibukota kabupaten. Kedua; kelompok yang merasa kalah bisa mengakui segala kekurangan dan kelebihannya.
Ada catatan penting yang perlu dibeberkan kepada warga MBD bahwa, ada tiga peristiwa politik paling besar, yang justru memiliki kekuatan menghancurkan persaudaraan warga MBD beberapa tahun belakangan, adalah pertama; perbedaan prinsip soal letak ibukota defenitif dan ibukota sementara MBD. Kedua; ystem soal ystemer MBD dan yang paling mutakhir adalah soal Pilkada MBD.
“Saya kira, mesti ada wadah untuk kita saling terbuka, saling mengakui kekurangan dan kelebihan. Karena masyarakat MBD sangat berbeda dengan wilayah lain di Maluku. Kita adalah masyarakat yang tahu memaafkan satu dengan yang lain. Kita punya adat-istiadat yang kuat. Jangan sampai kita tinggalkan adat-budaya sopan-santun (Kisar-Luang, baca: honoli/Roma, Letti-Moa, Lakor, Babar baca: snyoli, red). Kita akan berdosa kepada Tuhan dan leluhur kita,” kata, Kades Batumeyau-Letti, Tete Petu Barens, kepada mingguan KOTA, belum lama ini.
Pandapat Petu Barens ini sangat konseptual dan sarat dengan nilai-nilai kultur yang dianut. Dia paham betul dengan kebiasaan, adat-istiadat dan hubungan persaudaraan yang merupakan warisan leluhur. Karena itu, justru harus dijadikan salah satu komoditi unggulan untuk dikelola demi kepentingan mensejahterakan masyarakat.
Pendapat serupa dilontarkan Orlando Petrusz, salah satu tokoh pemekaran MBD. Menurut Orlando, jika ada pemimpin baik pemimpin formal maupun pemimpin informal secara serius terus memelihara keretakan yang ada sebagai komoditi politik, maka, mulai ada tanda-tanda kiamat melanda masyarakat MBD. Bagi Orlando, jika tidak ada kemauan baik untuk menyambung tali kekeluargaan yang terputus, menghimpun perbedaan yang tercecer, maka tidak bisa diharapkan sesuatu yang berarti dari bupati.
Orlando berpendapat, perbedaan prinsip politik mestinya tetap berada pada wilayah politik, tidak boleh diseret ke wilayah adat dan budaya, apalagi sudah menguasai ruang-ruang kepentingan pribadi, kelompok bahkan kepentingan partai. Menurut Orlando, seberapa kuat kepentingan politik tidak lebih kuat dari kepentingan menghubungkan kembali tali persaudaraan antara masyarakat dari Dawlor sampai ke Ustutun-Lirang.
“Apapun kepentingannya, tidak boleh kita terpecah-pecah. Pemerintah MBD harus mampu mempersatukan masyarakat kita. Jangan malah menambah jarak perpecahan. Saya sangat tidak setuju, jika masih ada orang yang merasa terus disakiti. Kalah dalam politik itu harus terjadi sesaat. Tetapi, jika diikuti dengan memotong karier seseorang, indentik dengan menerapkan ystem manajemen premanisme,” tegas Orlando.
Orlando menyarankan, jika Bupati tidak memiliki jiwa Kebapaan dalam memimpin, mestinya sejumlah wakil rakyat di lembaga DPRD MBD tampil dan tegas memberikan usul dan saran yang bersifat memaksa. Jika anggota DPRD juga menerima mentah semua kebijakan bupati yang terkesan tidak berpihak kepada kepentingan rakyat dan bahkan berpotensi memunculkan konflik lebih besar maka, baik bupati maupun DRPD harus bertanggungjawab terhadap situasi itu.
“Saya kira harus meng-erat-kan kembali hubungan persaudaraan yang retak akibat terjadi perbedaan pandangan soal letak ibukota kabupaten. Bukan sebaliknya. Membangun Moa atau memindahakan ibukota itu bisa hari ini, bisa tiga bulan, bisa juga lima tahun, dan bisa juga 20 tahun. Asalkan ada kesepakatan baik dari seluruh masyarakat. Jika Bupati tetap dengan sikapnya yang mbalelo, tidak tetap pendirian. Sebentar bilang 100 hari, sebentar mengatakan satu tahun. Ini berbahaya. Masyarakat terus akan tetipu oleh sorang Barnabas Orno,” tegasnya. ***
Oleh: Yesayas Petrusz