Yesayas Petrusz |
Pada tataran rasionalitas, orang mungkin alergi dengan hal-hal yang berbau politik. Tetapi magnet politik memiliki kekuatan sedot dan daya tarik bagi siapa saja yang melintasi hidup dalam aktifitas apapun. Ternyata cerita politik bukan saja digemari komunitas elitis, tetapi juga digandrungi oleh seluruh masyarakat. Media juga berperanan besar dalam membentuk opini sehingga semua orang (lelaki, perempuan, tua, muda) larut dalam perbincangan politik.
Berbagai analisis, prediksi dan komentar politik terus mengalir di beberapa tempat tertentu. Meski tak mengenal tempat, bincang-bincang tentang politik selalu menarik dari waktu ke waktu. Dimulai dari cerita pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, Gubernur dan Wakil Gubernur NTT hingga menyentuh aras hajatan politik Kota Kupang. Perdebatan soal penegakan hukum, institusi KPK, KPU, Polri, Kejaksaan, Kehakiman dan lembaga-lembaga politik lainnya yang senantiasa aktif dalam mengelola isu-isu politik global maupun isu politik lokal.
Magnet politik juga tidak kalah disaat dekatnya pemilihan Walikota Kupang. Cerita politik ini sama ramainya tatkala muncul sejumlah tokoh ikut mencalonkan diri menjadi bakal calon Walikota Kupang.
Kota Kupang yang terkenal dengan kota Kasih, cukup menyimpan banyak orang cerdas. Tak pelak sejumlah nama kini menjadi konsumsi publik. Ada yang muncul dari kalangan birokrat, akademisi, pengusaha dan praktisi politik. Ragam kegiatan pun terlihat sebagai bentuk sosialisasi diri dan pemasangan wajah pada berbagai baliho dan media-media masa lokal. Bahkan ada kandidat yang secara berani mencalonkan diri dan siap bertarung dalam pemilihan walikota. Tetapi juga ada yang ragu-ragu mengungkapkan niatnya. Ada juga yang sudah mengumbar program-program kerjanya secara terang benderang. Namun masih ada yang ‘malu-malu kucing’ menyatakan programnya.
KRITERIA WALIKOTA
Kata kriteria acap kita dengar baik dalam penyampaian lisan maupun tulisan. Bisa jadi kriteria menjadi modal dasar bagi setiap orang untuk menjaring siapa figuran yang patut mengemban amanah jabatan Walikota Kupang pasca “DUO DAN.” Saya masih ingat betul, sejumlah kalangan, apakah itu praktisi, akademisi, para pemuka agama dan tokoh masyarakat pernah menguraikan kriteria calon Walikota Kupang.
Tentu saja uraian kriteria itu pastilah ada yang sama ada juga yang berbeda. Ekstrimnya lagi, ada pula yang memasang kriteria menurut asas kepentingannya saja, tetapi itu sah saja menurut persepsi masing-masing. Pernah juga orang menyimpulkan bahwa memilih pemimpin harus dikenal bibit, bebet dan bobot. Bibit; melihat asalnya. Bebet; menilai karakternya dan bobot; menelaah kemampuannya. Agaknya kesimpulan ini kita dengar di berbagai tempat walau bentuknya masih abstrak, tetapi biasalah kita jadikan dasar mencari sosok figuran itu.
Ada pandangan dari kalangan rohaniwan menilai seorang pemimpin haruslah pertama; seorang yang beriman yakni terjaga ibadahnya, santun bahasanya, budi pekertinya dan tidak angkuh. Kedua; jika belum menemukannya, maka carilah asal keturunannya dari orang beriman. Yakni lihat kehidupan keluarganya dan perhatikan silsilah keluarganya. Ketiga, andaikan belum juga menemukannya, maka tetapkan hati orang itu yang selalu bergaul dengan orang-orang beriman seperti dekat dengan para pemimpin umat, tokoh-tokoh gereja dan para ulama. Jauh dari pergaulan maksiat. Jika ketiga nasihat ini diamalkan, orang itu pasti memiliki kemampuan, ketegasan, keikhlasan dan keyaknian menjaga amanat rakyat dan Tuhan-nya.
AMBISI KEKUASAAN
Ambisi atau (haus) kekuasaan tidak terlepas dari diri manusia yang sudah ditakdirkan menjadi pemimpin di muka bumi. Pemimpin bukan saja didasari oleh haus kekuasaan saja, tetapi mesti pula diimbangi dengan mental yang toleran, santun, memahami keadaan dan punya visi tegas atas kekuasaan itu sendiri.
Seseorang yang memiliki ambisi kekuasaan yang lebih kuat adalah kepribadian yang selalu merasa bisa. Seseorang dengan kepribadian merasa bisa itu cenderung ambisius, karakternya keras, kurang menerima kritikan, dominasi arogansi sikap dan heroisme berlebihan. Dibalik itu dirinya pasti akan meraih kekuasaan itu dengan segenap cara dengan kencenderungan buruk tanpa menyadari bahwa dirinya juga memiliki kelemahan kodrati.
Seseorang yang memiliki sikap toleran, santun memahami keadaan dan visi yang tegas adalah pemimpin berkarakter kepribadian bisa merasa. Keputusannya tidak tebang pilih, tidak arogan, bukan kebijakan semu. Bersikap tegak di atas semua golongan, tidak memperkaya diri, keluarga, kroni serta yang terpenting lebih kuat rasa malunya daripada rasa mau. Kita selalu merasa bisa padahal kita kurang sekali ‘bisa merasa’.
Dalam konteks pencaharian seorang Walikota Kupang, yang mana harus menjadi target pilihan warga Kota Kupang. Calon Walikota yang selalu merasa bisa? Atau bisa merasa? Tentu saja jawaban ada pada kita masing-masing atas pertanyaan ini. Banyak calon yang merasa bisa tapi jauh lebih banyak yang bisa merasa.
Jika pembaca setuju dengan saya, kita perlu menilai rekam jejak sosok bakal calon selama mereka menjadi pemimpin dilembaga atau instansi terdahulu. Jangan terbuai dengan gaya kepemimpinan instan.
Bisa saja karena ada keinginan sosok bakal calon tertentu merubah gaya kepemimpinannya demi mencari popularitas dan simpatik. Padahal jauh sebelumnya, karakter, gaya kepemimpinan dan toleransi di atas kerakyatan sedikit pun tak terlihat.
Mereka meninggalkan semua cerita buruk kasus yang tak berujung dan kenangan pahit bagi masyarakat saat itu, secepat itu pula dirinya berubah seluruh karakternya agar dicintai dan dipuji rakyat.
Carilah calon walikota yang punya catatan kepemimpinan yang baik, berprestasi, tidak bermental korupsi, tidak arogan, bukan merampas hak rakyat, bersahabat dengan rakyat, santun dengan para tokoh, baik tokoh agama maupun tokoh masyarakat dan berasal dari garis keturunan keluarga yang baik. Semoga…!
Oleh: Yesayas Petrusz