Dalam konteks lokal-pemerintahan daerah, plurallitas itu pun tetap tidak luntu. Kota Kupang, sebagai sebuah pemerintah daerah berotonomi, memiliki nilai-nilai kemajemukan, baik itu agama, suku dan budaya yang tetap lestari terpelihara masyarakat setempat. Implikasi yang sama dalam ranah lokal bahwa Kota Kupang membutuhkan pemimpin pluralis.
Kupang: NTT Mini
Ketika membaca judul tulisan ini, tentu muncul pertanyaan, mengapa Kota Kupang disebut sebagai NTT Mini? (Bagi saya, ketika Anda mempertanyakan hal ini, Anda sebenarnya layak untuk menjadi pemimpin Kota Kupang). Pendasaran utamanya adalah bahwa Kota Kupang sebagai Daerah Otonom, mayoritas warganya adalah berasal dari sejumlah daerah yang tercakup dalam Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Ada yang berasal dari Kepulauan Flores, Lembata, Sumba, Alor, Rote, Sabu dan Timor. Singkatnya bahwa warga Kota Kupang merupakan representasi dari 21 Kabupaten/Kota yang ada di Provinsi Nusa TenggaraTimur (NTT). Atas dasar seperti inilah, saya menyebut Kota Kupang sebagai NTT Mini.
Jelang Pemilukada Kota Kupang
Pesta akbar, pesta Demokrasi, pesta lima tahunan, akan segera dirayakan oleh seluruh warga Kota Kupang. Sejumlah persiapan pun telah, tengah dan masih terus dilakukan demi menyusekseskan kegiatan bermartabat ini. Sebut saja dari sejumlah persiaan itu misalnya suksesi pencalonan Wali Kota dan Wakil Wali Kota untuk lima tahun ke depan, penetapan daftar calon pemilih, dan sejumlah persipan teknis lainnya dibawah manajemen KPU Kota Kupang. Kita berharap, lembaga ini, mampu menyukseskan pesta partisipasi publik ini.
Makna Pemilukada
Seperti yang telah kita ketahui bersama, salah satu tujuan penyelenggaraan pesta demokrasi dalam konteks Pemilu Kada adalah memilih pemimpin (baca Kepala Daerah) yang baru untuk memimpin Kota Kupang pada periode kepemimpinan lima tahun ke depan. Proses Pemilu Kada yang sedang dipersiapkan ini diharapkan mampu melahirkan pimimpin baru, pemimpin yang mampu membawa perubahan setidaknya perubahan ke arah yang lebih baik. Dengan demikian, Kota Kupang yang sekarang tidak seperti dulu, dan kota kupang yang akan datang tidak seperti sekarang ini dan tentunya perubahan itu perubahan berdimensi positif. Filosofi “Sekarang lebih baik dari dulu, dan yang akan datang lebih baik dari sekarang” sekiranya cocok untuk menggambarkan harapan dari pelaksanaan pesta demokrasi, bukan sekadar rutinitas lima tahunan yang menghabiskan sekian banyak anggaran daerah yang berujung pada lunturnya makna demokrasi itu sendiri serta mencoreng kesejaheraan masyarakat.
Butuh Pemimpin Pluralis
Lebih lanjut, dalam konteks Pemilu Kada, setiap daerah tentunya berbeda pada aras tipe kepemimpinan yang diharapkan yang pendasarannya adalah latar belakang daerah baik itu sumber daya, maupun komposisi penduduk (warga daerah). Kota Kupang, sebagai sebuah daerah yang saya sebutkan sebagai “NTT Mini” tentu memiliki ciri tersendiri dalam hal tipe pemimpin yang cocok dan sesuai dengan karakteristik daerah. Kembali pada pemaknaan Kota Kupang sebagai NTT Mini seperti telah diuraikan sebelumnya, bahwa karakteristik pemimpin yang layak menahkodai Kota Kupang adalah pemimpin pluralis atau berkarakter kemajemukan. Konsekuensi logisnya adalah bahwa dalam pelaksanaan kepemimpinan, seorang Wali Kota Kupang harus mampu mengakomodasi kepentingan dari sekian suku yang ada serta memperlakukan warga Kota Kupang secara adil dan memperhatikan asal-usul setiap warga kota dalam hal pelayanan publik (public Service) ataupun terkait pendistribusian berbagai sumber daya (public goods) yang ada kepada masyarakat.
Konkritnya adalah seandainya pemimpin yang terpilih adalah orang Sabu, maka yang perhatian yang diberikan bukan hanya kepada orang-orang Sabu tanpa memperdulikan warga dari suku lain. Atau yang terpilih adalah orang Flores, maka suku-suku lain tidak diperhatikan. Demikian pun pemimpin dari suku-suku lainya. Makna pluralitas juga tidak sebatas pada keragaman suku bangsa, melainkan menjangkaui ranah lain semisal agama. Seperti kita ketahui bersama, bahwa di Kota Kupang terdiri dari sejumlah kelompok masyarakat dengan agama sebagai indikator pembeda. Ada Islam, Protestan, Katholik, Hindu dan sejumlah kepercayaan lainnya. Keragaman agama seperti ini, penting juga untuk diperhatikan oleh para calon pemimpin. Kalaupun Anda sebagai calon pemimpin bersuku Flores, Sumba, Timor atau suku lainnya; Anda beragama Kristen ataupun lainnya, ketika terpilih sebagai peminpin, maka batas atau sekat pembeda seperti tersebut di atas harus dibongkar sehingga perlakuan dalam konteks pelaksanaan fungsi pemerintah dapat berjalan dengan baik dan bermuara pada keberhasilan dan kemajuan. Mempertegas hal ini, sebuah adagium Cina Kuno berbunyi “Jika menjadi seorang pemimpin, hendaklah jangan engkau mengatakan itu pohon saya, tetapi katakanlah itu hutan saya”. Maknanya adalah ketika menjadi seorang Pemimpin Kota Kupang, janganlah pernah memperlakukan warga sebagai orang Sabu, Sumba, Rote, Timor, Alor, Lembata atau Flores tetapi perlakukan mereka sebagai warga Kota Kupang yang memiliki hak yang sama.
Ajakan untuk masyarakat pemilih
Mengakhiri tulisan ini, saya mengajak kepada seluruh warga kota Kupang yang memiliki hak pilih dalam Pemilu Kada nanti, mari dengan kejernihan nurani, kita memilih calon pemimpin yang berjiwa pluralis, hindari pandangan-padangan yang sempit yang terhimpit oleh kompleksitas pembatas yang menyekat. Hanya dengan demikian Kota Kupang akan menjadi lebih maju dan lebih baik. Jadilah pemilih yang baik, karena hanya dari pemilih yang baik yang mampu menghasikan pemimpin yang baik. Hati-hatilah dalam memilih.
*) Penulis: Valentinus Ramling Mahasiswa Semester VII
Jurusan Adm. Negara-FISIP Undana Kupang