Sejak 23 Desember 2011, sebanyak 703 guru kontrak pusat ditempatkan ke 10 Kabupaten di NTT, yakni Sumba Timur, Kupang, Alor, Lembata, Flores Timur, Ende, Ngada, Manggarai, Rote Ndao dan Manggarai Timur. Jumlah ini diduga akan terus meningkat. Menurut Prof. Simon, dugaan peningkatan ini terkait dengan penolakan terhadap guru kontrak pusat dari Pemda Papua yang berimplikasi pada menumpuknya tenaga guru kontrak pusat yang akan ditempatkan di NTT. “Kami tidak tahu data persis, tetapi rencana awal sebanyak 703 guru sudah ditempatkan di 10 kabupaten di NTT. Belakangan kami mendengar bahwa di Ende sudah kedatangan 1000 tenaga guru kontrak pusat.” terang Prof. Simon.
Anggota Tim 10 yang hadir pada saat itu, antara lain, R.H Padje, S.Pd, M.Si., Johanis Tafaib, S.Pd, M.Hum, Marthen Dillak, S.H, M.H., yang ditemani Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Nusa Cendana (Undana), Sefnat Ali; Ketua Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ), Mipa dan Ilmu Pendidikan Undana, Sandi Neolaka dan Yohanis Otamai; dan Ketua Ikatan Mahasiswa Nusa Lontar seluruh NTT, Valen Haning, dan tentunya ketua Tim 10, Prof. Simon, dalam diskusi terbatas sebagaimana yang dilansir kota-online menilai bahwa Pemda telah berbohong menebar pesona dan janji yang muluk pada setiap kesempatan menyampaikan sambutan pada prosesi wisuda-wisuda yang digalakan. “Kami menyambut baik wisudawan dan wisudawati yang ada, dan kami berjanji akan memberdayakan output di NTT” ujar Prof. Simon dengan meniru gaya bicara pejabat yang sedang membawa sambutan. “Kenyataannya, Pemda lebih mengutamakan produk luar dari pada produk sendiri” lanjut Prof. Simon.
Dalam salah satu media cetak lokal di NTT, terkait dengan SM-3T, Kepala Dinas PPO, Klemens Meba, mengakui bahwa kebijakan tersebut bedasarkan launchingnya rakornas, sehingga guru kontrak pusat yang ditempatkan di NTT merupakan permintaan daerah. Tim 10 kembali meminta kebijakan tersebut perlu dikaji kembali. Tim 10 dan Organisasi Ekstra dan Intra kampus dalam diskusi tersebut menyesali kebijakan Pemda yang dinilai kurang kooperatif dan selektif terhadap jumlah tenaga guru yang ada di NTT sebelum melaporkannya ke Rakornas. “Pemda tidak melakukan pengkajian yang spesifik. Guru di NTT tidak sedikit, tetapi sangat banyak. Dapat dipertegas bahwa NTT tidak kekurangan tenaga guru. Data kekurangan guru yang ada hanyalah guru yang nota bene PNS, tidak termasuk guru honor dan guru kontrak” ungkap Prof. Simon.
Selain itu, Tim 10 dan organisasi yang ikut dalam diskusi terbatas tersebut menyesali lembaga-lembaga yang turut mencetak tenaga kependidikan di NTT yang hanya berdiam dan merasa tidak terganggu dengan adanya guru kontrak pusat di NTT. Dari segi pengalaman kerja, kritik tajam diberikan juga oleh Yohanis Otamai terkait guru kontrak pusat yang baru diwisuda langsung dikontrak ke NTT. “Anehnya, Pemda tidak pernah mengadakan sosialisasi terlebih dahulu, bisa-bisa muncul kecemburuan sosial yang memicu konflik personal” kesal Jhon, sapaan akrab Jhon Tafaib, S.Pd, M.Hum.
Tim 10 mengecam akan melakukan edaran surat terbuka bila kebijakan ini tetap dielu-elukan. “Kami akan membuat surat terbuka yang akan diedarkan ke seluruh instansi jika pihak pemerintah tidak menghiraukan aspirasi ini” ujar Prof. Simon.
Tim 10 meminta DPRD dan Pemda buka ruang untuk diskusi, jika tidak maka dinilai Pemda menutup mata untuk kebijakan ini. “DPRD dan Pemda diharapkan dapat membuka ruang untuk diskusi, kalau dia berdiam berarti dinilai masa bodoh” tegas Prof. Simon.
Suhu yang memanas dengan pandangan intelektual dalam diskusi itu kembali menjadi normal dengan penuh canda, apalagi dengan candaan dari ketua BEM FKIP Undana, Sefnat Ali, tentang Gong Belajar. Ia menilai gong belajar sudah menjadi gong kematian. Suasana diwarnai dengan hidangan kue pisang goreng dan kopi hitam mewarnai diskusi itu.
Oleh: Fredy Frits Maunareng