foto dok:yesayas petrusz. Veky Lerik bersama pendukung saat mendaftar sebagai calon walikota kupang 10/2/2012
KOTA-Online (Kupang) MASA-masa manis bersama Partai Golkar harus berakhir. Veky Lerik benar-benar tutup album bersama Golkar ketika Gubernur Frans Lebu Raya, mengeluarkan Surat Keputusan (SK) Nomor: Pem.1721/272/11/2011 tanggal 18 November 2011, tentang Pengangkatan, Pengresmian Pengganti Ketua DPRD Kota Kupang masa jabatan 2009-2014.
Partai yang sempat mangusung dirinya sebagai Ketua DPRD Kota selama lebih dua tahun itu kini resmi ditinggalkan. Sejak Veky menjabat Ketua DPRD Kota, ia tak luput dari sorotan media massa, karena penampilannya yang fenomenal. Veky banyak menentang berbagai kebijakan Pemkot yang tidak pro rakyat. Bahkan terhadap sesama anggota Dewan pun Veky selalu mengawasi ruang gerak mereka. Sikap Veky ini semakin menimbulkan rasa antipati dari lawan politiknya Dan Adoe, yang juga sebagai Walikota. Berbagai sikap Veky ini pun oleh induk organisasi (Partai Gokar) dianggap telah melanggar garis-garis partai.
Alhasil, Veky pun dilengserkan dari jabatan sebagai Ketua DPD II Golkar Kota melalui suatu Musyawarah Luar Biasa (Musdalub). Terjadi sebuah konspirasi politik, maka dalam Musdalub DPD II Golkar Kota Maret 2011 silam itu, karib dekat almarhum ayahnya (Dan Adoe-Red) kemudian terpilih menggantikan posisinya. Tersebar isu bahwa yang mampu membunuh karakter politik Veky hanya Dan Adoe sehingga yang bisa menggantikan posisi Veky Lerik sebagai Ketua Golkar Kota Kupang hanya mantan pengurus DPD I Golkar NTT, Dan Adoe. Karena Veky tergolong sulit ‘dipatahkan’ begitu saja oleh kader lain.
Ketika drama pengdongkelan Veky Lerik dari Ketua Golkar Kota usai, Golkar Kota di bawah pimpinan Dan Adoe berusaha memotong perlahan berbagai status Veky di partai itu. Mulai dari memecat dari keanggotaan Golkar dan terakhir mengusulkan untuk mereposisi dari jabatan sebagai Ketua DPRD Kota. Veky pun sudah siap menerima berbagai resiko buruk yang bakal muncul. Termasuk soal reposisi dirinya dari jabatan Ketua DPRD Kota Kupang. “Emangnya gue pikirin (EMG-Red), itu saja jawaban singkat ketika menjawab pers, menyusul keluarnya SK pemberhentian dirinya tanggal 18 November lalu. Apa salah Veky yang sangat berat sehingga karier gemilang di Golkar begitu cepat dikuburkan? Golkar Kota yang bisa memberikan jawaban atas pertanyaan ini.
Salah seorang pengamat politik Undana Kupang Yusup Kuahati, berpendapat bahwa, drama menghabisi karier politik Veky Lerik dalam pentas perpolitikan Golkar adalah sebuah dinamika politik yang selalu ditemukan dimana-mana. Sehingga menurut Kuahati, bukan sesuatu yang harus dianggap luar biasa. Yang luar biasa menurutnya, adalah Veky Lerik. Sebagai seorang politisi yang masih belia, Veky mampu tampil secara gentlemen dan berjiwa besar. Veky adalah figur politisi yang berkharisma dan memiliki masa depan yang gemilang.
“Ini adalah sebuah proses belajar untuk Veky lebih matang lagi menghadapi persoalan politik. Veky memiliki masa depan politik yang cerah, karena saya lihat dia begitu tegar menghadapi berbagai guncangan politik yang menimpanya. Saran saya, Veky tidak perlu berkecil hati, terima Keputusan Gubernur untuk mereposisi dari jabatan ketua DPRD Kota dengan lapang dada. Karena itu kehendak organisasi, bukan Gubernur yang mengambil langkah sepihak. Masih ada masa depan yang lebih baik menunggu di depan,” kata Kuahati, kepada Mingguan KOTA pekan lalu.
Adegan ‘Bercinta” di DPRD Kota 14 November Sebuah Simbol
Menurut penilaian sebagian warga kota, adegan ‘bercinta’ yang dipentaskan duet Adoe-Lerik itu sekedar simbolik untuk mendapatkan sebuah keabsahan administrasi belaka. Kenyataannya sebelum adegan ‘bermesraan’ itu, di ruang sidang Dewan Kota telah terjadi perdebatan alot antara sejumlah anggota Dewan karena ketika sidang pembukaan APBD Perubahan yang digelar tanggal 8 November, Walikota sebagai yang bertanggungjawab terhadap pengelolaan keuangan daerah tidak pernah nongol dalam sidang. Yang selalu hadir mewakili pemerintah Kota adalah Wakil Walikota. Menurut anggota Dewan, ini sebuah sikap yang tidak baik. Sebuah cara ‘cuci tangan’ alias upaya melempar masalah kepada orang lain yang bukan wewenangnya.
Unjuk Hidung
Kisahnya, jauh sebelum Daniel Adoe ‘unjuk hidung’ dalam paripurna Dewan Kota, Senin 14 November, telinga Wakil Walikota Daniel Hurek sudah terlanjur ‘memerah’ terkena ‘jewer’ para wakil rakyat kota yang tersinggung karena seakan-akan Walikota tidak menghargai mitra kerjanya. Sepertinya tidak ada lagi toleransi dari para wakil rakyat terhadap berbagai alasan yang diajukan Walikota untuk tidak hadir dalam sidang Dewan itu. Memasuki tahapan penandatanganan Nota Kesepakatan tentang Kebijakan Umum Perubahan APBD dan persetujuan Nota Kesepakatan tentang Prioritas dan Plafon Anggaran (PPA) perubahan tahun 2011, para anggata Dewan mulai bersikap tegas.
Ketua Fraksi PDIP Adrianus Talli pada prapenandatanganan kesepakatan itu, mendesak agar Walikota Daniel Adoe harus hadir. Disebutkan bahwa, jika Walikota tidak hadir, maka Wakil Walikota harus memberikan alasan yang bisa diterima Dewan perihal ketidakhadiran Walikota. Mendengar sanggahan politisi PDIP itu, Wakil Walikota terlihat tidak lagi betah duduk. Dan Hurek terlihat hangat berdiskusi dengan beberapa staf yang menghadiri dalam sidang kali itu.
Wakil Walikota Hanya Pembantu
Selain Ketua Fraksi PDIP, salah satu Anggota Fraksi Partai Hanura, Melkianus Balle ikut mempertanyakan subtansi absen-nya Walikota Daniel Adoe dalam setiap kali persidangan. Balle berpendapat bahwa, penentu kebijakan di kota hanya bisa dilakukan oleh Walikota dan Ketua DPRD Kota Kupang. Mendengar protes bertubi-tubi dari para anggota Dewan dalan sidang paripurna itu, Wakil Walikota Daniel Hurek terpaksa menjawab apa adanya. Menurut Hurek, kehadiran dirinya dalam sidang, ansih sebagai Wakil Walikota. Dalam aturan perundang-undangan, katanya, sangat jelas bahwa tugas nomor satu Wakil Walikota adalah membantu kepala daerah, dengan demikian lanjut politisi Partai PKB itu, kehadirannya dalam sidang itu hanya melaksanakan fungsi membantu kepala daerah ketika berhalangan. “Sesuai dengan dokumen hukum Pemerintah Kota Kupang, tahu apakah saya harus tanda tangan ataukah tidak. Dalam kasus ini saya hanya membuat paraf, sekaligus untuk memberikan penegasan bahwa dokumen itu ada,” tegas kolega Walikota Daniel Adoe itu.
Penjelasan Daniel Hurek ini mendapat tambahan penegasan dari legislator senior Kota Kupang, Nikolaus Fransiskus, yang akrab disapa Niko Frans. Niko Frans berpendapat bahwa, sesuai penjelasan undang-undang nomor 32 bahwa, pemerintah daerah adalah kepala daerah dan DPRD. “Kepala Daerah itu satu saja. Kemudian ada wakil kepala daerah, dalam kaitan dengan Kota Kupang ya, Wakil Walikota. Apa yang disampaikan oleh Wakil Walikota itu adalah alasan teknis administrasi,” tandas Niko Frans.Niko menjelaskan bahwa, yang dikemukakan Ketua Fraksi PDIP DPRD Kota itu adalah alasan substansial, mengapa Walikota tidak hadir dalam setiap kali paripurna Dewan. Apa yang dilakukan ini, sebut Ketua Komisi C DPRD Kota Kupang itu, adalah demi etika pemerintahan. Makna undang-undang nomor 32 itu artinya pelaksanaan fungsi-fungsi kepala daerah dilaksanakan oleh dua kepala daerah itu. Dalam perubahan APBD, kedudukan kepala daerah, tidak tergantikan karena kepala daerah bermintra dengan DPRD dan sesuai dengan undang-undang sebagai penyelenggara pemerintahan daerah.
Akibat dari berbagai pandangan yang rasional dan benar menurut aturan yang berlaku maka Wakil Walikota memberanikan diri. Tanpa segan-segan menelepon langsung Daniel Adoe. Suara Daniel Hurek lewat telepon seluler mengandung nilai daya paksa yang sangat kuat. Seketika Walikota Daniel Adoe tiba di ruang sidang Dewan DPRD Kota Kupang. Tanpa menunggu lama Daniel Adoe langsung didaulat menandatangani dokumen penting daerah yakini kesepakatan bersama Ketua DPRD Kota. Usai penandatangan kesepakatan bersama itu, kedua tokoh yang sedang saling mendakwa itu, langsung bersalaman.
Daniel Adoe Absen
Mengapa Walikota Daniel Adoe tidak hadir dalam sidang yang amat penting itu? Ketika membalik lembaran peristiwa di DPRD Kota Kupang sejak Desember 2010, ada perbedaan pandangan cukup meruncing yang terjadi antar Ketua DPRD Viktor Lerik dengan pemerintah Kota yakni soal alokasi anggaran pada beberapa pos belanja daerah. Dalam sidang pembahasan rancangan peraturan daerah (RAPBD) tentang APBD Kota Kupang 2011, Ketua DPRD selaku Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPRD Kota, memangkas habis beberapa pos belanja yang dinilainya terjadi pemborosan di sana. Veki, menilai alokasi anggaran antara lain pada pos belanja perjalanan dinas dan pos belanja tamu Pemkot Kupang sangat fantastis dan cenderung tidak berpihak kepada kesulitan hidup masyarakat kota yang masih butuh pelayanan serius.
Sebagai Ketua Banggar, tanpa meminta pendapat anggota Banggar lainnya, Veki langsung memangkas. Sikap Veki ini mendapat protes keras, baik dari Pemerintah Kota maupun dari sesama rekan anggota DPRD. Sikap Ketua Banggar ini berbuntut pada sikap mosi tidak percaya dari lebih separuh anggota DPRD Kota terhadap kepemimpinan Veki Lerik baik sebagai Ketua DPRD Kota. Mosi tidak percaya ini kemudian merambat sampai pada peristiwa pencopotan Veky dari Ketua DPD II Golkar Kota Kupang, melalui Musdalub Maret 2011. Secara mengejutkan malah yang menggantikan posisi Veky Lerik sebagai Ketua Golkar Kota adalah Daniel Adoe yang nota bene adalah Walikota Kupang.
Daniel Adoe adalah politisi senior yang merupakan jebolan Partai Golkar NTT yang kemudian ‘lompat pagar’ ke beberapa partai kecil ketika awal-awal proses pencalonanan dirinya menjadi Walikota Kupang, oleh karena Golkar tidak mengakomodir dirinya sebagai calon Walikota Ketika itu. Setelah menjabat sebagai Walikota, Daniel Adoe kemudian berdiri sebagai Deklarator lahirnya Ormas Nasional Demokrat (Nasdem) di NTT, sekaligus sebagai Ketua DPD I Ormas Nasdem NTT. Dapat ditafsir, bahwa pencopotan Veky Lerik dari Ketua Golkar Kota Kupang, merupakan sebuah konspirasi politik para politisi senior dalam Pemerintahan Kota maupun di DPRD Kota untuk membunuh karier politiknya dalam partai Golkar? Veky dinilai menjadi ancaman besar bagi mereka jika ia dibiarkan berlama-lama di partai itu.
Konspirasi Membunuh Karier Politik Veky
Skenario membunuh karier politik Veky Lerik melalui Partai Golkar bisa masuk akal karena usai dicopot dari Ketua, secara marathon para politisi Golkar di DPRD Kota mempersiapkan agenda untuk mereposisi Veky dari jabatan sebagai Ketua DPRD Kota. Sebelum reposisi itu terjadi, keanggotaan Veky Lerik sebagai anggota Golkar dicopot.
Sebagai kader Golkar, Veky dinilai tidak loyal terhadap organisasi dan tidak mampu menjaga kredibilitas Golkar dimata masyarakat Kota Kupang. Dalam kedudukan sebagai Ketua DPRD Kota, Veky Lerik tentu sangat berperan dalam rangka mengontrol langsung berbagi kebijakan Daniel Adoe sebagai Walikota yang sudah menjadi lawannya. Sebagai Pemerintah Kota, Daniel Adoe dalam hal ini pasti merasa terganggu jika Veky Lerik tetap sebagai Ketua DPRD. Dengan demikian atas prakarsa Golkar Kota, Veky Lerik diusulkan untuk diganti. Melalui berbagai surat sakti DPD II Golkar Kota, Fraksi Golkar terus memainkan peran untuk mendesak Veky, tidak boleh mimpin sidang-sidang. Namun, hingga sidang perubahan anggaran digelar, Veky Lerik masih tetap sebagai ketua DPRD Kota.
Saling mengintip, melapor dan saling menjegal terus terjadi antara Ketua DPRD Kota dan Walikota Kupang. Sebagai Ketua Golkar, Daniel Adoe tetap tidak mengakui keabsahan Veky Lerik dalam memimpin sidang-sidang di Dewan Kota, termasuk memimpin sidang perubahan anggaran yang sedang berlangsung. Karena secara organisatoris Veky Lerik dianggap tidak lagi berstatus sebagai anggota Golkar, karena sudah dipecat dari keanggotaan Golkar.
Sikap penolakan Golkar itu, ditunjukkan lewat aksi walk out FPG ketika Veki Lerik memimpin sidang perubahan APBD Kota Kupang tanggal 8 November 2011. Dengan demikian cukup beralasan jika Daniel Adoe sebagai Walikota sekaligus sebagai Ketua Golkar Kota, tidak menghadiri sidang perubahan APBD, ia tidak mengakui berbagai produk yang dihasilkan Dewan Kota di bawah pimpinan Veky Lerik sebagai Ketua DPRD. (kota-1)