Niko Frans |
Kota Online [KUPANG] - Sejalan dengan dinamisnya kota, mestinya orang tidak lagi bicara tentang kekuatan etnis, agama dan golongan sebagai energi bagi sapapun kandidat walikota kupang yang ingin terpilih. Karena dalam konteks masyarakat pluralis, istilah suku, agam dan antar golongan mestinya tabu untuk diungkapkan selalu sebagai kekuatan pendukung para kandidat wali kota. Apalagi dalam proses memilih Wali dari warga kota kupang pasca DUO DAN. Bagi beberapa kandidat Walikota Kupang, sangat tidak sependapat kalau mempersoalkan suku, agama dan golongan dalam menjaring pemimpin walikota pasca “DUO DAN.”
Kandidat yang secara terang menolak clem-clem suku, agama dan golongan sebagai kekuatan pendukung adalah Nicky Uly, Kepala Dinas Tata Kota, Mech Saba Ketua umum Kadin NTT, Nicolaus Fransiskus, anggota DPRD Kota Kupang dan Calos A. M de Fatimah Kajari Waingapu (Sumba Timur). Maher Ora, kepala Seksi Protokoler dan Humas pada Sekretarit DPRD Kabupaten Kupang. “Bicara tentang walikota Kupang, saya tidak suka orang membawa-bawa suku dan agama. Itu tidak pelu lagi dibicarakan. Karena kota kupang di huni oleh berbagai suku dan agama. Jadi Walikota Kupang mendatang harus orang-orang yang benar-benar berdiri di atas semua golongan,” tandas Nico Frans.
Pandangan yang sama ditegaskan juga oleh Mech Saba. Mech sepertinya kurang terima dengan komentar sejumlah kandidat soal clem-clem kekuatan yang berasal dari suku tertentu atau agama tertentu. Mech berpendapat, menjadi pemimpin di Kota Kupang, harus bisa tampil sebagai wali yang baik bagi semua warga.
“Tidak boleh membedakan suku dan antar golongan. Akan sangat berbahaya jika kita meng-clem kekuatan pendukung misalnya suku Timor, atau suku Sabu, atau suku Rote atau pun suku Flores. Warga Kota Kupang sudah sangat majemuk,” terangnya.
Sementara kandidat lainnya Calos A. M de Fatima dan Maher Ora menyatakan bahwa jika seseorang mau tampil menjadi calon wali di Kota Kupang harus menyingkirkan simbol-simbol etnik dan agama. Dengan demikian kepemimpinannya tidak akan menuai kritik dari warganya. Keduanya berangkat dari dasar pemahaman bahwa Kota Kupang merupakan tepat tinggal berbagai suku, agama dan golongan.
Untuk itu ketika ada kandidat tertentu yang jauh-jauh hari sudah menyatakan akan meraih kemenangan karena memiliki komunitas lebih besar maka itu tidak bisa dibenarkan. “Kita jangan mengikuti cara kepemimpinan wali kota terdahulu dengan lebih mengutamakan unsur-unsur keluarga dan suku tertentu. Ini sangat berbahanya dan mengancam kerukunan dan keutuhan warga kota,” tegas Maher Ora.
Senada dengan Maher, Calos juga mengakui, ada kejanggalan yang selalu dibuat wali kota. Kejanggalan itu terlihat ketika ada sebagian warga mengeluh kalau wali kota bukan keluarganya. “Saya merasa aneh ketika ada warga Kota Kupang mengeluh bahwa pak Wali Kota bukan berasal dari suku ini atau bukan dari agama itu. Ini sangat mengancam tata kehidupan bermasyarakat dan tata kehidupan bersosial di Kota ini,” tegasnya. Calos berpendapat bahwa untuk menghindar dari image itu para calon pemimpin ke depan harus betul-betul mampu berdiri diatas semua suku dan golongan.
Sementara ada banyak kadidat yang juga di samping mengakui penduduk Kota Kupang adalah masyarakat pluralis, namun masih tetap mengakui tidak bisa menghindar dari issu suku, agama dan antar golongan sebagai kekuatan bergaining untuk dapat dipilih sebagai Walikota Kupang. “Kita tidak bisa menghindar dari issu-issu kekuatan etnis dan agama,” kata Et Foenay.
Sementara sejulah politisi berpandangan bahwa jika orang figur dari Sabu serius maju kali ini maka dia berpeluang kuat menjadi wali kota. Alasannya, komunitas Sabu tidak gampang dipecah-bela, komunitas Sabu sangat kompak dalam berbagai segi berikut jumlahnya cuup siknifikan di Kota Kupang. Sama halnya kemlompok masyarakat Timor di Kupang. Ada pendapat juga bahwa persekutuan Orang Timor di Kota Kupang sangat kuat. Sikap paternalistic orang Timor terhadap tokohnya sangat tinggi. Ini membuat sehingga komunitas Timor tidak mudah terpengaruh dengan hasutan atau propaganda politik orang lain, jika bukan tokohnya. “Sekarang orang Timur mulai kuat. Karena mereka bersatu. Mereka sudah tidak mudah goyah. Saya yakin jika ada tokohnya maju semua akan pilih,” kata Kris Matutina, politisi dari Partai Amanat Nasional (PAN) Kota Kupang.
ROTE DAN FLORES KURANG KOMPAK?
Sebaliknya, ada pandangan lain menyebutkan bahwa kendati komunitas orang Rote juah lebih banyak berdomisili di Kota Kupang, namun kurang menjadi harapan kekuatan mendukung kandidat berketurunan Rote. Karena komunitas ini sulit dipahami haluan politiknya. Mereka masih-masing memiliki pendirian yang tidak gampng dipengaruhi. Terkesan individualistik dan memiliki setting kepentingan yang sangat sukar untuk dicernah, sekalipun orang yang selalu dijadikan tokoh panutan juga tidak gampang menebak kemauan politik komunitas ini. “Saya kira, tokoh Timor dan Sabu kali ini punya peluang karena mereka kompak. Saya sulit memahami cara berpikir orang Rote. Orang Rote sulit dipengaruhi,” tambah Matutina, anggota DPR Kota Kupang.
Mestinya komunitas Flores juga termasuk kekuatan yang punya posisi tawar cukup besar untuk memenangkan Pilkada Walikota Kupang mendatang, jika kelompok ini bisa sepakat untuk bersatu. Hanya saja, komunitas ini hampir tidak bisa diajak untuk menjadi kekuatan tunggal. Karena sudah terlanjur terbentuk kelompok-kelompok. Ada kelompok Flores bagian Barat, ada Flores Tengah dan ada Flores Timur. Pemetaan wilayah berdasarkan karakteristik orang seperti ini sangat berpengaruh buruk terhadap hitungan kekuatan riil politik di Kota Kupang menjelang pergantian Walikota Kupang. Jika pendangan ini benar maka sulit diperoleh wali kota yang lahir dari komunitas Flores. Figur Flores hanya bisa tampil sebagai orang kedua? terserah saja.
Sementara Warga Sumba dan Alor lasimnya selalu dianggap sebagai sub-lemen pelengkap kemenangan bagi kandidat dari kominitas Sabu, Timor atau Rote.
“Untuk itu kita harus bersatu. Jika ada yang ingin maju lalu berpeluang kuat menjadi Wali Kota, kita harus dukung. Jangan semua rame-rame maju, nanti pada akhirnya gagal,” kata Yos Dogon, Sekretaris Puskud NTT.
Yos Dogon juga menghakui kalau figur yang punya kans menjadi walikota adalah dari kalangan Sabu, Rote atau Timor. “Yah tapi kita harus mengakui, kekuatan-kekuatan mayoritas dan minoritas. Ini riil. Kita tidak bisa pungkiri itu,” tambah Yos.
Pandangan berbeda muncul dari kalangan generasi muda Kota Kupang dari komunitas Flores, Wens Laka, SE. Wens tidak sependapat kalau ada pandangan bahwa orang Flores tidak bisa tampil sebagai Walikota Kupang. Bagi alumnus Fakultas Ekonomi Institut Teknologi Nasional (ITN) Malang ini, menyakini figur dari komunitas Flores punya peluang yang sama dengan komunitas Sabu dan Rote di Kota Kupang menjadi Walikota Kupang. Namun, kata dia, yang menjadi hambatan selama ini adalah justru berada pada tataran elit politik dan para tokoh masyarakat Flores di Kota Kupang.
“Antara sesama tokoh orang Flores di kota ini tidak mau mengalah. Antara satu dengan yang lain saling mempertahankan ego dan prinsip. Jika ada yang mengalah dan berjiwa besar lalu bersepakat membiarkan kesempatan kepada salah satu figur yang dianggap benar-benar mampu menjadi Walikota, itulah yang didorong maju. Jika itu terjadi, sapa bilang Walikota tidak bisa datang dari kalangan komunitas Flores,” pungkas Wens.
Wiraswastawan muda ini juga mengakui kalau dalam terminology Pilkada pada level mana pun, kendati berada pada tataran kota yang tingkat kemajemukannya cukup tinggi, tidak bisa menghindar dari issu-issu suku dan agama. Untuk itu, dia berpandangan bahwa jika ada clem-clem pendukung selalu didasarkan pada kekuatan suku dan agama adalah sesuatu hal yang sangat normativ.
“Dalam perspektif kota yang sudah maju dengan tingkat kemajemukkan penduduk yang cukup tinggi sekalipun, tidak bisa menghindar dari issu-issu suku dan agama, apalagi di NTT yang masih cukup kental dengan pola-pola primordialisme ini, kita tidak bisa menghindarkan issu itu,” beber Wens.
Wens Menilai jika masing-masing, sebagai missal dari Suku Sabu memunculkan satu figur, dari Suku Rote mendorong satu figure, dari suku Flores menawarkan satu figur dan suku Timor juga mengajukan satu figur, maka yang dilihat para pemilih adalah agama. Bukan lagi suku yang dihitung. “Ini sangat wajar. Kita akui itu. Karena itu, menurut saya ketika orang Flores dapat menyepakati hal ini (sepakat untuk bersatu), artinya tidak ada pembedaan, mana Flores Timur, Flores Tengah dan mana Flores Barat maka kekuatannya pasti tunggal. Dengan demikian peta politik sudah barang tentu berubah total. Dan pemilihan Walikota Kupang bakal menarik” urai Wens.
By. JP