SUHU politik di kabupaten baru MBD akan terus panas, bahkan bisa mengancam keutuhan wilayah itu, jika bupati tidak melonggar untuk merubah kebijakan yang tidak pro rakyat tetapi cenderung berpihak kepada keinginan kelompok. Bahwasanya, kekuasaan ketika dikemas dalam frame (baca: freim) kepentingan lalu digiring masuk dalam ranah keinginan maka teori ‘adu domba’ relevan berlaku dan manajemen konflik menjadi pilihan utama. Konsekwensinya ialah semua benda hidup maupun yang mati, yang bergerak maupun tidak bergerak stand by di bawah kekuasaan itu. Ketika ada kekuatan lain yang mencoba melawan, hitungannya adalah akan ‘dimangsa habis’ atau dikategorikan sebagai kelompok pembangkang. Tetapi para pendukung setia tentu dielus, difasilitasi, mulutnya dikunci, seraya melakukan upaya pembusukan terhadap kelompok lawan. (baca: Orde Baru).
Pada tataran itu, masyarakat dibuat serba kotak-kotak. Ada kelompok pendukung, ada kelompok tidak mendukung. Ada kelompok pro dan ada kelompok kontra, ada kelompok orang ‘baik’, ada kelompok orang tidak baik, tetapi juga ada kelompok yang setia menunggu di tepi lorong kehancuran dan maut (baca; masyarakat). Terus? Sabar dulu.
Jika kebijakan seorang pemimpin semisal Bupati MBD, yang oleh sebagian orang menilai agak mirip seorang ‘pemimpin gerombolan,’ maka jalan keluarnya adalah mesti ada pihak ketiga yang bebas nilai, yang berfungsi memberikan ‘teguran keras’ untuk segera merubah kebijakan dengan mengakomodir usul dan saran warga. Jika tidak, bisa berpotensi mengancam keutuhan wilayah dan membuat jurang antar warga. Bahkan bisa mengobrak abrik rasa persaudaraan di kangan warga MBD.
Dalam konteks itu, perubahan bisa terjadi secara cepat manakala muncul kesadaran bersama, kemauan keras dan ada cita-cita kolektif untuk mengembalikan hak-hak dan nilai-nilai demokrasi pada posisi yang benar, mengembalikan hak-hak warga pada porsi yang setara. Maka rakyat mau tak mau harus terlibat langsung secara massif dalam melakukan perubahan di daerah itu.
Dalam era demokratisasi dewasa ini yang dijiwai semangat Pancasila dan UUD 1945 (UUD amandemen) sesungguhnya rakyat berada pada posisi tertinggi. Pemerintah, DPR/DPR Provinsi dan DPR Kab/Kota yang didaulat untuk melaksanakan amanat itu. Bukan sebaliknya, kekuasaan kemudian menjadi milik person atau kelompok yang ditunjuk mengengemban amanat tadi.
Yang terjadi hari ini di kabupaten baru, Maluku Barat Daya justru hampir mirip dengan kekuasaan yang dipraktekan pada jaman Orde Baru. Rakyat dipaksa untuk menuruti keingian pemimpin. Bahkan DPRD yang menjadi representasi dari seluruh rakyat, dapat diduga telah digiring untuk menelan mentah keinginan bahkan kebijakan yang cenderung tidak pro rakyat.
Faktanya ialah; pertama memangkas TKD PNS dan uang lauk pauk pegawai rendah di daerah terpencil dengan alasan mempercepat proses pembangunan fisik dalam sebuah kawasan hutan yang masih prawan. Kedua, ketika dilantik Barnabas cenderung mengabaikan fungsi-fungsi dan kewenangan DPRD sebagai lembaga rakyat. Ketiga, berecana merevisi APBD tahun 2011 yang sudah disahkan jauh sebelum ia dilantik. Karena APBD 2011 yang telah disahkan tersebut dinilai samasekali tidak mengakomodir keinginan kelompok kepentingan politik koalisi. “Buktinya semala dilantik Bupati tidak pernah duduk bersama DPRD MBD untuk membicarakan apa yang hendak dikerjakan pasca diresmikan sebagai bupati MBD terpilih,” aku anggota DPRD Welem Lerick, via telepon selulurnya.
Keempat, dalam hitungan hari, bupati melakukan mutasi secara besar-besaran terhadap pejabat di lingkungan SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) hingga staf terendah. Kelompok pejabat Eselon II yang dianggap tidak seidiologi, ditaruh pada posisi yang tidak penting. Sementara para staf yang masuk dalam ‘daftar hitam’ dikumpul dalam jumlah besar kemudian dimutasikan ke kecamatan-kecamatan terpencil. Ironisnya para staf yang dimutasi itu lebih banyak berasal dari pulau tertentu. Mereka dianggap kelompok yang terang-terangan tidak mendukungnya ketika awal-awal proses Pilkada berlangsung. “Yang bagi kami adalah mengapa lebih banyak PNS asal Kisar yang dipindahkan, sedihnya lagi ada beberapa ibu guru yang sudah usur dan dekat pensiun malah dipindahkan ke Wetar. Saya kasihan juga kepada Ibu guru Lico-Norimarna itu sudah tua mau pensiun, malah dikasi pindah ke Wetar,” kata sumber-sumber terpercaya di Pemkab MBD.
Revisi APBD MBD 2011
Menurut anggota DPRD MBD, Welem Lerick APBD tahun 2011 sebesar Rp 400 miliar lebih, yang sudah disahkan. APBD itu menganut sistem anggaran berimbang sesuai peruntukan kebutuhannya bagi rakyat dan untuk jalannya roda pemerintahan di MBD. Alokasi 60% APBD untuk belanja pembangunan dan belanja pegawai 40%. Anggaran untuk belanja pembangunan, telah dialokasi secara merata. Semua wilayah kecamatan mendapat jatah berdasarkan hak-haknya. Termasuk juga membangun sendi-sendi ekonomi kerakyatan yang diharapkan bisa berdampak terhadap peningkatan pendapatan perkapita masyarakat berikut lebih mendongkarak sumber-sumber pendapatan asli daerah (PAD).
“Pemerintah punya kewenangan merevisi sebuah APBD yang sudah disahkan, apabila terjadi kejadian luar biasa atau terjadi apa yang disebut forsmajor, misalnya adanya bencana alam yang mengancam kehidupan masyarakat, misalnya banjir bandang, gempa bumi yang mengahncurkan sendi-sendi kehidupan ekonomi, atau bencana kelaparan, atau wabah penyakit yang sifatnya masal. Pada saat itulah pemerintah sebagai penguasa anggaran mempunyai otoritas untuk melakukan perubahan anggaran, demi situasi emergensi itu. Tetapi kondisi hari ini tidak bisa dibenarkan jika pemerintah berencana merevisi dengan alasan mengalihkan pembangunan di tempat lain, lalu mengabaikan azas pemerataan dan azas keadilan terhadap hak masyarakat,” jelas Welem Lerick.
Disebutkan bahwa, sebagai lembaga rakyat yang memiliki kewenangan untuk mengontrol pemerintah soal penggunaan anggaran, DPRD berhak memaksa pemerintah untuk disiplin terhadap sebuah keputusan yang sudah sah dan resmi. DPRD juga mesti dihargai, sebagai mitra sejajar pemerintah. Sebuah rancangan peraturan yang sudah disahkan, wajib hukumnya adalah pemerintah harus melaksanakan secara murni dan konsekwen.
“Tentu DPRD akan mempertimbangkan betul rencana pemerintah merevisi APBD tahun 2011. Bahkan bisa kami menolak secara tegas. Pembahasan APBD sudah selesai. Jika ingin direvisi oleh Pemerintahan Barnabas Orno itu sudah jauh di luar logika. Karena menurut kami, APBD yang sudah disahkan itu justru memikul kepentingan rakyat banyak. Jika direvisi, maka seumur hidup DPRD tidak lagi dipercaya. Dan merupakan sebuah bentuk pelecehan luar biasa terhadap lembaga terhormat ini. Dalam undang-undang, pemerintah dan DPRD adalah mitra sejajar, jika DPRD dianggap sebagai bawahan bupati maka itu adalah hal yang perlu di lawan secara tegas,” urai sumber lain di DPRD MBD.
Menurut informasi yang dihimpun dari MBD, Pemerintah telah melakukan rasionalisasi terhadap APBD 2011 yang sudah disahkan DPRD MBD itu. Tinggal menunggu waktu yang tepat untuk diajukan ke DPR lalu disahkan. “Bukan baru rencana, malah pemerintah sudah selesai revisi atau melakukan rasionalisasi. Itu sama arti dengan merevisi, kan? Tinggal meminta persetujuan DPRD saja,” kata sumber-sumber dekat pemerintah.
Semakin menguat dugaan bahwa ketika pemerintah mengajukan hasil-hasil revisinya (istilah pemerintah MBD rasionalisasi-red) terhadap APBD 2011, DPRD MBD bakal menerimah utuh tanpa catatan. Karena mayoritas wakil rakyat MBD disebutkan sudah menggiring lembaga itu lebih dekat dengan eksekutif, sehingga apapun langkah yang dilakukan tidak banyak dikritisi.
“Anggota DPRD MBD yang sekarang ini tidak bisa berbuat apa-apa semua sudah masuk dalam ‘perangkap.’ Sudah ‘mandul’ dan ‘impoten,’ masyakarat tidak bisa lagi berharap banyak dari wakil-wakilnya. Kita harap sekarang yang bisa kontrol pemerintah adalah pers. Jika pers juga mandul maka rakyat akan rame-rame duduk menunggu dan gigit jari,” ujar Anton warga MBD.
Bupati Langgar HAM
Kebijakan pemerintah MBD mencoba membonsai hak-hak memperoleh penghidupan yang layak bagi kemanusiaan adalah dengan cara berencana memotong TKD dan ULP PNS MBD tanpa kompromi. “Bahwa hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgem, oleh karena itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun,” kata UU Hak Asasi Manusia, Nomor 39 tahun 1999, tentang HAM. Jika benar Barnabas Orno secara sengaja, dengan kepentingan politik dan atau kepentingan pribadi, dengan kekuasaan yang melekat terhadap dirinya memangkas hak-hak PNS MBD tanpa kompromi maka menjadi dugaan Barnabas telah melakukan pelanggaran berat terhadap undang-undang HAM.
Saat ini masyarakat MBD masih bisa bertahan hidup karena sedikit mengambil remah-remah dari berbagai tunjangan dan gaji PNS di wilayah terpencil itu dengan cara menjual hasil-hasil kebuminya. Sesungguhnya MBD adalah daerah yang kaya-raya, namun semuanya masih tersimpan di perut bumi, masih dihutan-hutan, masih digunung-gunung, masih di dasar laut dan masih di padang-padang Kekayaan itu, masih berbentuk bebatuan dan lumpur. Masih berbentuk buah mentah. Masih berbentuk daun mentah, masih berbentuk bunga mentah dan masih berbentuk daging mentah. Belum diolah menjadi barang jadi yang bermanfaat langsung bagi kehidupan. Itu sebabnya ide memotong TKD dan ULP PNS sama saja dengan upaya sistematis pemerintah menyumbat hidung dan mulut masyarakat untuk berhenti menghirup ‘udara segar’ beberapa lama. Perlu dicatat masyarakat baru bisa makan nasi sepering, minum kopi segelas, mengenakan seutas kain dan berteduh dibawah sabuah jika barang jualan yang dipasarkan dapat dibeli oleh para PNS rendahan itu.
“Terasa betul, kalau TKD dan tunjangan lauk pauk kami dipotong, kami tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Kami punya anak banyak. Sebagian sedang kuliah, ada juga yang masih kecil-kecil, kami cuma harap gaji. Tambah lagi, harga barang di MBD ini sangat mahal. Kami mau hidup bagaimana lagi. Kalau kami tidak belanja di pasar kami tidak bisa makan. Bukan saja kami yang PNS, masyarakat yang berjualan juga pasti susah, karena barang-barang jualan mereka tidak ada yang membeli. Siapa yang bertanggungjawab atas kesulitan hidup ini. Bupati yang baru ini memang bermental seorang preman. Dia tidak pikir kami PNS kecil ini. Kalau dia berani potong, kami akan mogok kerja,” tegas beberapa sumber PNS di lingkup pemerintahan MBD.