KOTA ONLINE (Kupang) - Wilayah Maluku Barat Daya (MBD) berabad-abad terisolasi. Masyarakatnya jauh dari berbagai perkembangan. Sulit berakses dengan dunia luar bahkan tertinggal dari berbagai kemajuan informasi dan teknologi (Iptek). Akibatnya, mereka kurang paham tentang hak-hak mereka, terkesan lugu, ‘buta’ bahkan membisu ketika melihat lembaran buku, lembaran koran atau benda sejenisnya. Karena itu, mesti hari ini mereka diberikan kebebasan seluas-luasnya membangun akses keluar, membaca koran, membaca tabloid, membaca majalah, membaca novel, membaca buku-buku IPTEK, mengaseks internet, membaca risala sidang DPRD, mendengar laporan progress kerja Bupati. Singkatnya, masyarakat tanpa kecuali berhak memperoleh ilmu, pengetahuan dan informasi pembangunan secukupnya.
Berbicara tentang upaya mencerdaskan kehidupan bangsa, kualitas masyarakat dan meningkatkan mutu dan kualitas diri, tidak ada seorangpun di bola bumi ini, berkuasa melarang. Tidak dibenarkan terjadi klasifikasi antar orang maupun golongan. Tidak peduli dia itu bupati, wakil bupati, Sekda, Asisten, kepala dinas, Kabid, Kabag, dan pegawai rendahan yang golongan II atau pegawai honor. Petani, nelayan, buruh-buruh bangunan, pedagang, yang masih SD, SMP, SMA, nenek-nenek, semuanya berhak membaca dan memperoleh informasi, sepanjang jenis bacaan itu berhubungan dengan ilmu, pengetahuan, hak dan kewajiban sebagai warga negara, yang dapat meningkatkan kualitas diri.
Secara tegas kebebasan memperoleh infromasi dilindungi oleh berbagai regulasi secara nasional. Kedudukan orang kecil sebagai warga negara, sunguh sangat kuat. Mereka juga adalah warga nasional dan bagian dari masyarakat dunia. Untuk itu sangat naïf dan merupakan perbuatan melawan hukum jika ada penguasa lokal, sebut saja Bupati MBD (jika benar) berlagak pintar, sok berkuasa berlebihan, oleh karena jabatannya mencoba membatasi hak-hak orang lain membaca koran dan atau mengakses informasi, dengan alasan-alasan yang tidak masuk akal sehat orang normal.
“Barnabas Orno kalo melarang para PNS di MBD membaca koran itu, dia jelas-jelas melanggara undang-undang. Dan perlu dipersoalkan secara hukum,” kata Kapten Polisi (Pur) Taressy, di Kupang belum lama ini.
Hak atas informasi ini dijamin oleh Konstitusi. Dalam UUD 1945, pasal 28F dinyatakan: “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.”
Untuk menguatkan ketentuan dalam UUD 1945 tersebut, maka dikeluarkan Undang-Undang No 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP). UU KIP memberikan jaminan kepada SETIAP WARGA NEGARA untuk memperoleh informasi yang dikuasai oleh BADAN PUBLIK. UU KIP memberikan acuan yang sangat jelas kepada warga negara tentang tata cara MEMPEROLEH INFORMASI dari badan publik. UU KIP juga mengatur tentang apa yang harus dilakukan oleh warga negara (pemohon informasi publik) jika niatnya untuk memperoleh informasi dari badan publik dihambat oleh pejabat di dalam publik tersebut. Penyelesaian sengketa permintaan informasi tersebut akan diselesaikan oleh KOMISI INFORMASI.
Melalui UU KIP masyarakat dapat memantau setiap kebijakan, aktivitas maupun anggaran badan-badan publik berkaitan dengan penyelenggaraan negara maupun yang berkaitan dengan kepentingan publik lainnya.
“Karma Balas Dendam”
“Pembalasan jauh lebih kejam dari perbuatan.” Ini sebuah ungkapan klasik yang disebut sebagai hukum karma. Hukum karma itu, hari ini benar-benar terjadi di lingkungan Pemerintah Kabupaten MBD. Jika mencermati berbagai masukan dan pendapat masyarakat MBD tergambar jelas bahwa pemerintah terpilih yang baru lebih sebulan memegang kekuasaan itu, melakukan sistem pemberangusan terhadap karakter semua orang atau kelompok bahkan secara etnik, yang dianggap pernah melakukan perlawanan terhadap kelompoknya, baik pada saat proses pemekaran MBD maupun pada saat proses pemilihan kapala daerah berlangsung.
Sekedar gambaran untuk masyarakat lebih memahami mengapa terjadi pembalasan dendam yang kini tengah dipraktekan di MBD itu. Bahwa ketika proses pemekaran MBD sedang berlangsung, tercipta suatu situasi pro kontra yang cukup kencang soal letak ibukota devinitif. Demi mengejar agar wilayahnya ditetapkan sebagai lokasi ibukota kabupaten MBD, mulai terbentuk kubuh-kubuh. Penulis mencatat, ada tiga kelompok kekuatan. Yang dimaksud dengan tiga kelompok itu yakni kelompok pro Wonreli-Kisar sebagai ibukota devinitf di satu sisi, kelompok yang menghendaki Tiakur-Moa sebagai lokasi ibukota MBD dan ada kelompok yang abstain (tidak bersuara), kelompok ini tetap menghendaki cepat mekar, tetapi kurang mempersoalkan letak ibukota, dan mereka sangat abu-abu.
Dalam proses perjuangan pemekaran itu, kedua kelompok ini sama-sama menunjukan resistensinya. Berbagai cara halal maupun cara-cara haram dilakukan sekedar untuk menyakinkan pemerintah pusat demi mendukung ambisi mereka. Kelompok pro Tiakur misalnya, ketika itu terkesan lebih memiliki kemampuan dan kekuatan finansial yang cukup untuk mempengaruhi pihak Depdagri dan mampu menjawab berbagai keinginan para politisi di Senayan, pada detik-detik terakhir maupun pada saat-saat kritis. Karena mereka itu terdiri dari beberapa orang penting dalam lingkup pemerintah Induk MTB. Ada yang menjabat sebagai Sekda, sebagai Kabag Tatapem, sebagai Wakil Bupati, sebagai kepala Dinas Keuangan dan Dinas Pendapatan Daerah, dan ada beberapa politisi lainnya yang mendukung secara politik. Sementara kelompok pro Kisar lebih banyak didukung oleh beberapa politisi dan tokoh msyarakat yang tidak cukup punya kekuatan bergaining karena tidak berada langsung dalam sistem pemerintahan di MTB ketika itu.
Perlu terbuka bahwa, sungguh ketiga kelompok ini sama-sama menginginkan segera terjadi percepatan pemekaran. Namun dua kelompk lainnya terus mempertentangkan letak ibukota devinitif. Keinginan perebutan letak ibukota kabupaten kemudian menjadi titik krusial yang sulit dicarai jalan tengah, ketika sama-sama mengklaim lokasi yang dipilih itu lebih layak, lebih pantas dan memenuhi syarat-syarat dasar sebagai letak ibukota. Kelompok yang berpihak kepada Tiakur di Pulau Moa terus melakukan manuver dengan mencoba merekayasa data tentang keunggulan-keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif yang didukungan dengan data fisik lainnya bahwa di Tiakur sudah layak jadi ibukota karena cukup memiliki infrastruktur dasar, gedung-gedung perkantoran sementara, sarana dan prasarana umum lainnya sudah serba cukup, selain itu letaknya berada di tengah dan wilayahnya cukup luas.
Para pentolan pendukung Tiakur itu justru menawarkan kondisi kemajuan infrastruktur dasar yang dimiliki oleh Wonreli-Kisar kepada pemerintah pusat seakan-akan semua kemajuan yang terjadi di Wonreli dimana sangat meyakinkan bahwa kondisi kemajuan itu justru terdapat di Tiakur. Mereka (kelompok pro Tiakur) disebutkan malah menghilangkan detil data tentang kemajuan pembangunan Wonreli, waktu itu.
Sementara berdasarkan rekomendasi tim pengkajian Universitas Pattymura (Unpati) Ambon tentang kelayakan wilayah MBD Wonreli sangat memenuhi syarat sebagai ibukota kabupaten MBD. Namun para pentolan tokoh pro Tiakur terus menyodorkan data rekayasa tentang Tiakur ke meja Tim Otonomi Daerah Depdagri. Padahal secara kenyataan Tiakur Moa samasekali masih berbentuk padang sabana, masih ditumbui semak duri, hutan-belukar, tidak berpenduduk dan jauh dari tempat hunian penduduk.
Dalam rekomendasi Unpati, ada tiga kecamatan tua di MBD ditempatkan sebagai kategori sangat layak jadi ibukota MBD ketika itu yakni, Wonreli-Kisar berada urutan I, sementara Tepa dan Serwaru di urutan ke II-III. Memang dalam rekomendasi itu, Moa disebutkan pula sebagai calon kota jangka panjang (masa depan).
Dengan melihat kata Moa sebagai peluang kota jangka panjang, para pentolan kelompok pro Moa di MTB dengan berbagai kedudukan dan jabatan di pemerintahan membuat tim pekanjian tahap kedua lalu melakukan pengkajian ulang atas kelayakan calon ibukota MBD dengan fokus bidik Tiakur sebagai calon Ibukota MBD, mengabaikan Kisar, Tepa dan Serwaru. Dengan referensi hasil kajian tahap kedua itu para pentolan tokoh pro Tiakur berupaya merekayasa data demi kebutuhan percepatan pemekaran. Menggunakan seluruh data kemajuan pembangunan dari Kota Wonreli kemudian dikemas dalam berbagai bentuk informasi lalu ditawarkan ke pemerintah pusat dengan menyebutkan itu merupakan kondisi riil yang terdapat Tiakur (menggunakan manajemen Ayub; baca perjanjian lama).
Para kelompok pro Tiakur juga selalu berupaya menghalangi tim survey dari Depdagri dan DPR RI untuk tidak turun ke lokasi calon ibukota baik di Wonreli maupun di Tiakur untuk melakukan cross check data sesuai dengan data tertulis yang sudah dipegangnya. Tim survey dicegat tidak boleh ke Wonreli dan Tiakur hanya untuk menghindar dari berbagai rakayasa fakta yang sudah dilakukan. Ketika itu, mereka hanya berhenti di Saumlaki lalu kembali ke Jakarta.
Sementara para tokoh dan politisi pro Wonreli juga tidak tinggal diam. Mereka berupaya secara terus menerus mengklarifikasi data, dengan terus menyakinkan pemerintah pusat bahwa telah terjadi banyak manipulasi data yang dilakukan kelompok pro Tiakur, namun tidak juga mampu mengembalikan kepercayaan pemerintah pusat, dan ketika palu pemekaran diketuk, Tiakur tetap sebagai Ibukota, tetapi penyelenggaran pemerintahan kemudian dijalankan di Kisar karena Wonreli satu-satunya kota yang memenuhi siarat infrastruktur dasar.
Sesungguhnya Kecamatan Wonreli Kisar sebagai kota yang menyelamatkan masyarakat MBD dari keterisolasiannya. Karena ketika itu, jika para tokoh pro Kisar menyatakan bahwa Tiakur belum layak dan kemudian menyatakan bahwa kabupaten MBD jangan dulu terbentuk maka, hari ini MBD belum juga menjadi sebuah wilayah yang otonom. Terlepas dari itu semua, Tiakur dipastikan dapat ditetapkan sebagai ibukota devinitif karena para pentolan pro Tiakur ketika itu, sudah habis-habisan ‘menyumbat kran-kran’ baik di Depdagri maupun di DPR RI, sehingga kelompok pro Wonreli, yang notabene terbatas dari segi financial tidak mampu berbuat banyak.
Pertentangan panjang tentang letak ibukota Kabupaten MBD ini, membuat situasi perbedaan prinsip itu terus membekas bahkan terkesan masih tersimpan di hati beberapa pentolan kelompok pro Tiakur. Jika hari ini Barnabas Orno terpilih sebagai Bupati MBD, kemudian dia mencanangkan 100 hari kerja pemerintahannya segera mengalihkan aktifitas pemerintahan ke Tiakur, itu bukan sesuatu hal yang aneh, baru dan kemudian menjadi ketakutan berlebihan bagi warga beberapa pualau lainnya. Karena pertama pembangunan fisik di Tiakur bukan merupakan sebuah kebutuhan pelayanan publik yang mendesak dan tergolong sangat emegensi. Tapi semata-mata karena masih merupakan satu paket perjuangan politik yang belum tuntas.
Oleh: Yesayas Petrusz
Oleh: Yesayas Petrusz