Hi quest ,  welcome  |  sign in  |  registered now  |  need help ?

GIZI BURUK DAN BUSUNG LAPAR (Dipandang Dari Aspek Sosiologi)

Selasa, 31 Januari 2012 | 01.10



KOTA ONLINE (KUPANG)- Dalam pandangan sosiologi, masyarakat itu ditopang oleh lima pilar yakni keluarga, agama, pendidikan, ekonomi dan politik atau pemerintah. Jika salah satu dari lima pilar ini goyah atau terjadi disfungsi maka akan mempengaruhi pilar lainnya yang mengakibatkan ketidakseimbangan dalam masyarakat itu sendiri.
 
Melihat masyarakat kita sekarang ini dengan masalah serius yaitu “busung lapar”, dapat kita kaji dari sudut pandang sosiologi untuk mencari penyebab, gejala serta masalahnya untuk dicari solusi atau penanganannya.

Dapat dikatakan secara umum pola hidup dalam masyarakat kita berbentuk pola hidup konsumtif, pola paternalistik, ikatan kekerabatan atau kesukuan yang kuat, aturan adat istiadat  yang kaku.

Pola hidup konsumtif. Tidak dapat disangkal bahwa pola hidup konsumtif adalah satu fenomena yang merajalela dalam harian hidup masyarakat NTT. Mengapa program IDT atau bantuan kredit lainnya kurang berhasil atau gagal? Ya, pola hidup konsumtif telah menghambat orang untuk menggunakan bantuan yang ada sebagai modal usaha. Hanya digunakan untuk kebutuhan hari ini. Akhirnya ketika terjadi rawan pangan karena gagal tanam dan gagal panen, orang tidak punya apa – apa lagi.

Pola ini menjadi penyebab busung lapar ketika diperkuat oleh kebiasaan untuk meniru dan tidak mau kalah dari orang lain. Orang merasa malu jika hidup berdampingan dengan orang lain yang berkecukupan materi. Jadi, ia akan berusaha mengeluarkan uang untuk mendapatkan apa saja agar bisa sama dengan orang lain. Modal lebih banyak digunakan untuk pemenuhan keinginan, bukan kebutuhan. Porsi untuk makanan menjadi berkurang. Jadi muncul tren makan apa saja yang penting bisa nonton TV, bisa bergaya di atas motor, bisa mengenakan pakaian baru, bisa punya HP, tapi anak – anak hanya mengkonsumsi nasi doang, atau nasi dan minyak ikan, jagung bose atau jagung ketemak. Yang lebih parah lagi orang merasa bahwa makan mie instant, dan sejenisnya, mengandung gizi dan tidak terlihat KUPER.

Di samping itu ada juga pola paternalistic yang telah mengkonstruksi kaum lelaki (khususnya laki–laki dewasa) pada posisi utama. Jika dihubungkan dengan makanan yang kurang bergizi atau kekurangan makanan, maka pola ini telah menghasilkan kenyataan: orang dewasa laki–laki senantiasa menjadi prioritas dalam memperoleh makanan inti, setelah itu baru anak–anak dan kaum perempuan. Padahal kalau mau dilihat dari segi kemampuan fisik, kaum lelaki dewasa punya keunggulan kekuatan fisik yang memungkinkan mereka punya stamina lebih untuk kondisi–kondisi kritis, misalnya saat rawan pangan. Jadi masih ada dalam masyarakat kita kebiasaan untuk tidak memberikan jenis makanan yang sebenarnya sangat bergizi, misalnya hati ayam, kepala ikan kepada anak–anak. Bagian–bagian penting (baca; bergizi) ini hanya diperuntukkan bagi orang dewasa laki–laki. Anak–anak dan kaum perempuan pun mendapat kesempatan “makan nomor dua.”

Aspek sosiologis juga melihat sistem kekerabatan atau kesukuan yang kuat. Dalam tataran moral, sopan santun dan etika, masyarakat kita patut mendapat acungan jempol lantaran sangat menghargai orang lain dan punya hubungan kekerabatan yang kuat erat. Orang tidak mau dinilai tidak menghargai orang lain, orang mau dinilai sopan, tahu menghormati orang lain, sehingga rela mengeluarkan dana atau mungkin juga ‘ngutang’ pada tetangga, yang penting tamu yang datang di rumahnya bisa puas, bahagia dan punya kesan positif pada diri dan keluarganya. Sehingga masyarakat di lingkungannya dapat menilai bahwa hidup mereka berkecukupan walaupun dalam kenyataan tidaklah demikian. Orang lain menjadi prioritas, sementara anak sendiri merana. Makan apa adanya, padahal sejam sebelumnya tamu disuguhi makanan 4 sehat. Pola hidup seperti ini kita biasa menyebutnya dengan “budaya tampak depan”.

Jika kita melihat lebih dekat lagi dalam system kemasyarakatan kita terdapat begitu banyak aturan dan ketentuan adat istiadat kita yang masih kaku. Masyarakat kita tanpa dipaksa ‘harus’ menghabiskan banyak kepunyaan mereka walaupun dalam keseharian, hidup kita pas–pasan. Sebagai contoh, dalam aturan adat beberapa kelompok masyarakat di pulau Timor, sebelum menikahi seorang gadis seorang pria harus membayar belis berupa beberapa keping muti (benda serupa uang logam perak). Benda ini sudah langka, sulit diperoleh. Alternative pengganti adalah belasan ekor sapi untuk satu daun (keping) Muti. Dapat dibayangkan puluhan ekor sapi harus diberikan, jika dituntut lebih dari dua keping muti. Seandainya puluhan ekor sapi ini dijual, maka uangnya bisa untuk menyekolahkan anak atau untuk membeli jenis makanan yang mengandung gizi. Aturan adat yang kaku ini telah menjadi penyebab, hilangnya kesempatan untuk belajar (baca; ikut pendidikan) yang memungkinkan untuk tahu mana makanan yang bergizi dan mana makanan yang hanya merupakan buah keinginan emosional belaka.

Beberapa kondisi sosiologis di atas diperkuat lagi oleh cara bercocok tanam tanpa melalui observasi lahan. Pada kondisi ini, bukan saja masyarakat tetapi pemerintah pun menjadi penyebabnya karena memprioritaskan suatu kawasan atau lahan produksi untuk jenis tanaman yang tidak cocok dengan iklim atau kandungan tanah tersebut. Program yang ditawarkan pun mubazir. Sementara itu pola cocok tanam masyarakat pun masih pada tujuan ‘untuk makan hari ini.’ Contoh, masyarakat Timor, sebagian besarnya adalah peternak dan punya tanah pertanian yang ditanami, ‘hanya pada pekarangan rumah’. Lahan yang luas dan hijau digunakan untuk penggembalaan sapi. Hasilnya adalah sapi-sapi sehat dan gemuk, sementara pemiliknya kurus kering. Ironis karena masyarakat kita menyebut diri petani, dengan lahan pertanian terpakai hanya : 60 x 60 meter.

Seandainya kita masih tetap dengan pola hidup yang ada maka mustahil, bisa mengatasi busung lapar. Kondisi ini menyebabkan kita terpuruk secara ekonomi. Kalau sudah terpuruk ekonomi, tak mungkin kita bisa membeli (menghadirkan) jenis makanan yang bergisi, yang memungkinkan terhindar dari busung lapar. Kita  juga tidak punya kekuatan (biaya) untuk menyekolahkan diri dan anak–anak kita. Tanpa pendidikan, kita tidak mengerti mana makanan yang bergizi dan mana yang tidak (ada indiferentisme), karena masyarakat kita sebagian besarnya belum cerdas. Walaupun kita memperoleh pendidikan gratis melalui seminar dan penyuluhan, tetapi hubungan kekerabatan dan aturan adat yang kaku telah membuat semuanya sia–sia.

PENANGANAN

Bentuk penanganan pada persoalan ini dapat direncanakan dalam jangka pendek dan jangka panjang. Jangka pendeknya adalah usaha bersama yang dilakukan oleh pemerintah, LSM, serta lembaga-lembaga masyarakat lainnya dengan memberikan bantuan kesehatan yang cukup bagi penderita gizi buruk maupun busung lapar. Seperti yang dilakukan oleh salah satu lembaga keagamaan di Kota Kupang baru-baru ini.

Sedangkan untuk jangka panjangnya, pemerintah begitu pun lembaga lainnya bersama masyarakat itu sendiri perlu merekonstruksi kembali pola budaya yang ada pada masyarakat kita. Pemerintah perlu proaktif dalam membangun infrastruktur bagi masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan secara ekonomi, sehingga masyarakat mampu menjawab persoalan mereka sendiri.

OLEH : FRANSISCO ANDRE DJEMALU, S.SOS