Hi quest ,  welcome  |  sign in  |  registered now  |  need help ?

Enam Kampus di NTT Tolak Alokasi 1000 Guru Dari Pusat “Lahan Kami Telah Dirampas dan Dijual”

Rabu, 01 Februari 2012 | 14.48




KOTA ONLINE (Kupang)—Selasa (31/01-2012), terjadi aksi mahasiswa secara besar-besaran yang berasal dari enam kampus di NTT. Demonstrasi itu terjadi di depan kantor Gubernur NTT dan Gedung DPRD NTT. Mereka menolak kebijakan Pemerintah Pusat melalui Kemendiknas, yang mengalokasikan sekitar 1000 guru untuk ditempatkan di NTT, tanpa mempertimbangkan kondisi obyektif di daerah.  

Massa yang bergabung dalam ‘Forum Masyarakat NTT Bersuara’ terbentuk dari beberapa aliansi, antara lain, mahasiswa Universitas Nusa Cendana (Undana), Universitas Kristen Artha Wacana (UKAW), Unimor, Universitas Muhamadyah (Unmuh), Universitas Widyamandira Katolik (Unika), Universitas Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) NTT dan alumnus berbagai Lembaga Pendidik Tenaga Kependidikan (LPTK) di NTT serta pendidik di berbagai Perguruan Tinggi baik Perguruan Tinggi Negeri (PTN) maupun Perguruan Tinggi Swasta (PTS) yang berada di NTT.

Massa yang sejak pukul 09:00 Wita bergerak dari Kampus Universitas PGRI NTT, Naikoten I Kota Kupang, menuju ke gedung DPRD Provinsi sempat memacetkan arus lalulintas di Jalan Eltari. Kandisi itu berlangsung sejak pukul 11:35—11:55 waktu setempat.

Salah satu demonstran secara lantang menyatakan bahwa Pemerintah Daerah (Pemda) NTT terkesan diam-diam menerima tenaga guru kontrak pusat dengan program Sarjana Mengajar di Daerah Terdepan, Terluar dan Terpencil (SM-3T) yang telah ditempatkan pada 10 kabupaten di NTT. Dinilai bahwa Pemda telah mendiskriminasikan LPTK yang berada di Provinsi NTT. Unjuk rasa itu berlangsung aman di bawah pengawalan aparat kepolisian dan mendapat sambutan baik oleh Ketua DPRD Provinsi, Drs. I. A Medah.

Setelah bertemu langsung dengan Medah di depan Kantor DPRD Provinsi, koordinator aksi, Yermias Wabang dalam orasinya mengatakan, kuat dugaan Pemda telah melakukan politisasi pendidikan. “Pemda telah menjual lahan kami kepada investor. Ketidakpastian nasib guru dalam berbagai sudut pandang, seringkali dijadikan sebagai jembatan politik dan menempatkan diri sebagai Master of Solution yang handal untuk mendapat simpati publik demi kepentingan perut para elit politik yang berkepentingan,” pungkas Wabang.

 “Konyolnya lagi, ada para gubernur, bupati/wali kota dan Kepala Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Kadis PPO) provinsi maupun kabupaten termasuk NTT yang hadir pada Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) tanpa pertimbangan yang pro pada kepentingan rakyatnya.” tegas Wabang.

Mahasiswa semester 10 dari Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP PGRI NTT ini kemudian membacakan delapan butir pernyataan sikap ‘Forum Masyarakat NTT Bersuara’. Delapan sikap tersebut antara lain; 1) menolak keputusan MENDIKNAS yang mengangkat dan menempatkan tenaga guru kontrak melalui program SM-3T; 2) menolak keputusan MENDIKNAS yang mengabaikan LPTK di NTT; 3) meminta dan mendesak MENDIKNAS untuk menarik kembali guru kontrak pusat yang ditempatkan di NTT; 4) meminta dan mendesak MENDIKNAS untuk mengangkat tenaga-tenaga honorer yang sedang mengabdi; 5) meminta pertanggungjawaban Pemerintah Provinsi NTT dan Kabupaten serta Dinas PPO kesepuluh kabupaten yang telah menerima guru kontrak pusat; 6) meminta pertanggunjawaban Lembaga Legislatif tentang keberpihakannya dalam memperjuangka kepentingan warga NTT; 7) menduga ada konspirasi dan transaksi politik antara Pemda dengan Pemerintahan Pusat sehingga Pemda mengambil sikap diam dan berpura-pura tidak tahu; 8) bersama seluruh elemen akan menggerakan mosi tidak percaya kepada Pemerintah Pusat dan Daerah jika pernyataan sikap tidak ditanggapi. *

Oleh: Fredy Frits Maunareng