Hi quest ,  welcome  |  sign in  |  registered now  |  need help ?

Perempuan NTT Jangan Jadi Golongan II

Selasa, 03 Januari 2012 | 20.53




KOTA ONLINE (KUPANG) - SUNGGUH perempuan harus diberikan kesempatan sebebas-bebasnya guna mengaplikasikan ilmu dan potensi dirinya guna ikut mendorong kemajuan dan kesejahteraan masyarakat.

Kiprah perempuan dalam politik di era reformasi mulai berubah kearah yang positif setelah lahirnya UU Nomor 12 tahun 2003 tentang Parpol. Pasal 65 ayat (1), partai politik dianjurkan mencalonkan 30% kaum perempuan untuk duduk di kursi Legislatif (DPR, DPD, DPRD I dan DPRD II) sebagai manifestasi peran perempuan dalam politik praktis. Kesempatan ini jelas adalah peluang emas, setelah sekian lama perempuan ada dalam banyang-banyang suprioritas politik dikotomi perempuan versus laki-laki.

Politik, yang disebutkan orang, kejam dan kotor, tak boleh kemudian menghambat kaum perempuan untuk ragu masuk terlibat di dalam-nya. Inilah waktu tepat bagi perempuan guna berupaya ikut aktif memperbaiki tatanan sosial yang cenderung rusak. Melalui kekuatan nurani perempauan, diyakini  akan  mampu menjadi kekuatan penyeimbang dalam tatakelola kehidupan bermasyarakat, yang terkesan semrawut akibat birokrasi yang cenderung korup. Begitupun pada tataran pengelolaan pemerintahan yang jauh dari nilai-nilai demokrasi, nilai-nilai persamaan hak dan derajat. Sehingga tentu dibutuhkan sentuhan kasih dari seorang pemimpin perempuan. Kali ini perempuan diharapkan bisa tampil dengan konsep perubahan dalam kepemimpinan Kota Kupang.

Keterlibatan perempuan yang dominan dalam politik di Negara Swedia dan Peru menjadi bukti bahwa politik yang sehat dan mampu menciptakan kesejahteraan dan menghilangkan korupsi dapat diperankan oleh politisi perempuan. Kehadiran politisi perempuan dalam kondisi masyarakat saat ini, sangat dibutuhkan karena masalah perempuan yang rawan kekerasan baik oleh oknum individu maupun institusi, dapat diminimalisir oleh keterlibatan peremuan sendiri, bila power politik bisa di genggam sendiri oleh perempuan. Kultur taat, yang memasung perempuan melalui adat istiadat dan tradisi dapat dihilangkan melalui advokasi dan sosialisasi politik.

Peran kaum perempuan dalam dunia politik di Indonesia sudah ada sejak lama, termasuk dalam masa-masa kolonialisme maupun kemerdekaan. Globalisasi telah memberikan peluang yang lebih baik terhadap kaum perempuan untuk berperan secara wajar dan sejajar dengan pria, baik dalam konteks isu hak asasi maunsia, demokratisasi maupun kesamaan gender. Saat ini banyak perundang-undangan maupun peraturan lain yang mendorong kaum perempuan agar dapat berkiprah secara lebih luas dalam berbagai sektor kehidupan termasuk dalam aspek kehidupan politik.
Cukup Lama Laki-Laki Mengatur

Adalah Angelina Sondakh, Legislator asal Partai Demokrat berpendapat bahwa laki-laki dalam kurun waktu yang cukup lama dipandang sebagai subyek yang mengatur atau yang paling berhak dalam ranah publik. Laki-laki kemudian hampir mengusai bagian-bagian penting seluruh bidang, sementara pada saat yang sama perempuan terus diperankan sebagai pelayan yang membantu kerja laki-laki. Adagium peran domestik perempuan yang hanya berurusan dengan “kasur dan dapur” jelas adalah pemasungan paradigma yang mengakhinati hak-hak azasi manusia sebagai ciptaan Tuhan, yang diciptkana dengan potensi yang sama,” papar bekas istri artis ternama (alm) Adjie Masaid ini.

Dalam padangan Angelina, perempuan jelas memiliki kemampuan yang sama,  karena itu, semangat menghapus dikotomi gender dalam pemerintah KH Abdurahman Wahid melalui Inpres No 9 Tahun 2000 adalah sebuah good will politik yang menghapus perbedaan gender dalam pembangunan nasional adalah langkah maju yang postif. Hal ini merupakan bagian dari pengakuan bahwa tidak sedikit perempuan yang mengukir prestasi dan member seumbangsih pada harumnya nama bangsa dan negara atas kreasi kaum perempuan dalam bidang tertentu berbagai bidang yang digerluti oleh laki-laki dapat dilakukan oleh kaum perempuan seperti olahraga keras; tinju karate, gulat dan angkat besi.
Perjuangan Kemerdekaan Perempuan

Salah satu aktivisi perempuan Astrid Ayu Septiaviani dalam pandanganya menyabutkan bahwa perempuan (wanita) adalah tiang negara. Disebutkan bahwa sebelum kemerdakaan, perempuan Indonesia telah berperan dalam politik perjuangan memerdekaan Indonesia. Indonesia mencatat perjuangan seorang wartawati SK Trimurti yang keluar masuk penjara karena tulisannya yang aktif mengajak masyarakat melawan penjajahan Belanda dan Jepang dengan caranya. Selama di penjara dia mendapat siksaan dari Jepang yang memukul kepalanya hingga pingsan di hadapan suaminya. Ia bahkan melahirkan akan keduanya di penjara. Kini namanya diabadikan dalam sebuah penghargaan bernama SK Trimurti Awards.
Ada juga tokoh perempuan Inggit Garnasih. Menurut catatan Arstrid Ayu, sebetulnya Inggit Garnasih bukan istri pertema Bung Karno, namun ada fakta lain menyebutkan bahwa istri pertama Bung Karno yakni puteri dari pahlawan Nasional HOS Cokroaminoto yang kemudian dicerai oleh Bung Karno sebelum menikahi Ibu Inggit. Sejarah mencatat, Ibu Inggit terlibat aktif membantu perjuangan Bung Karno dalam politik dan perjuangan kemerdekaan bangsa ini, memang tidak secara langsung.
Dikisahkan Ibu Inggit, menjual bedak dan jamu buatan tangannya, lalu menggunakan hasil penjualan bedak dan jamu  untuk kebutuhan rumah tangga dan kegiatan perjuangan Bung Karno. Ibu Inggit pula-lah yang dengan cerdas menyeludupkan buku-buku, koran dan bahan bacaan lainnya untuk Bung Karno selama Bung Karno di penjara. Bahan bacaan itulah yang menjadi kerangka pidato pembelaan Bung Karno pada sidangnya di tahun 1930.
Sementara Mengawati Soekarnoputri memimpin Indonesia selama tiga tahun. Kontroversi seputar kepemimpinan perempuan mewarnai perjalanannya sebagai presiden. Banyak yang menentang kepemimpinan perempuan, apalagi bila dikaitkan dengan aturan agama (islam). Prestasi dan kinerjanya masih menjadi pro kotra hingga saat ini. Terlepas berhasil tidaknya Megawati menjadi Presiden, Mega telah memberi contoh konsistensi dalam berpolitik kepada masyarakat Indonesia. Beberapa kali, sang penerus, Puan Maharani didekati rival politiknya sebelum dan sesudah Pemilu 2009. Terakhir, saat issu reshuffle kecang berhembus, nama puan pun disebut akan mengisi kursi Menteri. Di saat seperti ini, sebagai politisi, Mega tetap tegas menunjukkan konsistensinya sebaga partai di luar pemerintah yang tidak mungkin masuk dalam pemerintah. Terlepas dari benar tidak issu itu, namun harus diakui bahwa ketangguhan mental seorang perempuan Mega ketika masa Orde Baru. ***

Oleh:Yesayas Petrusz