Ironis. Hampir setiap tahun NTT tidak pernah luput dari berita rawan pangan yang mengakibatkan sebagian masyarakat pada tahun 2011 silam dikhabarkan mengkonsumsi biji asam atau makan putak dan ubi hutan. Masyarakat seakan tidak peduli rawan pangan karena gagal tanam atau gagal panen padi dan jagung oleh akibat kemarau panjang, atau akibat serangan hama
Berikut petikan wawancara wartawan Mingguan KOTA Marthen Radja dengan Ir. Anis Tay Ruba, di ruang kerjanya pecan lalu:
Mingguan Kota (MK) : Selaku kepala dinas, apa yang anda lakukan dalam menjadikan NTT Provinsi jagung?
Anis Tay (AT) : Sebagai instansi teknis dan merupakan perpanjangan tangan dari Gubernur kami siap mengamankan program ini. NTT Provinsi Jagung sesungguhnya mau mengatakan bahwa konsumsi utama masyarakat NTT adalah jagung bukan nasi atau beras. Kan sudah secara turun-temurun makanan local kita adalah jagung, ubui-ubian, pisang, dan kacang-kacangan. Sehingga menjadikan NTT sebagai Provinsi Jagung sebenarnya hanya mau mengkampanyekan kembali kepada masyarakat bahwa makan jagung itu tidak kalah istimewanya dengan makan nasi. Masyarakat kitakan selalu beranggapan kalau makan nasi atau menyuguhkan tamunya dengan nasi itu sudah luar biasa dan bergengsi. Nah, pola-pola lama inilah harus dirubah sesuai dengan karakter dan kekhasan masyarakat kita. Jagung adalah makanan khas orang NTT.
MK : Pandangan sebagian besar masyarakat bahwa menjadikan NTT Provinsi Jagung sasarannya bukan untuk kesejahteraan masyarakat akan tetapi untuk kepentingan politik 2013. Komentar anda?
AT : Ha….ha…Silahkan orang kebanyakan dengan tafsirannya masing-masing. Akan tetapi pemerintah menggulirkan program apapun untuk kesejahteraan rakyat banyak. Pemerintahan mana yang tidak ingin rakyatnya maju dan sejahtera? Pemerintah NTT menjadikannya Provinsi Jagung bukan tanpa alasan mendasar. Masyarakat NTT sudah secara secara turun-temurun mengkonsumsi jagung. Sayangnya produksi jagung tidak sebanding dengan kebutuhan konsumsi masyarakat. Sehingga pemerintah berupaya menaikkan produksi jagung dalam setiap tahunnya, paling tidak untuk memenuhi kebutuhan (buffer stock). Selaku dinas teknis yang mengelola bidang pertanian, kami punya tangung jawab moril dalam menjawabi kebutuhan pangan masyarakat itu. Jadi saya kira kalau untuk kepentingan politik jabatan sama sekali tidak ada. Kecuali kepentingan politik untuk kesejahteraan masyarakat, itu iya!
Satu hal yang perlu digarisbawahi bahwa setiap tahunnya sebagian masyarakat NTT berteriak kelaparan dimana. Sesungguhnya masyarakat kita hanya ketiadaan beras/padi saja, tetapi pangan local lainnya masih ada. Masyarakat masih punya jagung, ubi-ubian, pisang, dan lain-lain. Nah, upaya kita adalah memberdaya pangna local yang ada. Makan (baca: konsumsi) jagung inikan menunjukkan ciri khas masyarakat NTT yang sudah membudaya. Selain menunjukkan kekhasan NTT, mengkonsumsi jagung juga memiliki nilai gizi yang sama dengan nasi atau beras atau bahkan nilai gizinya lebih tinggi dari nasi. Sehingga masyarakat jangan hanya bersandar pada beras jika masa paceklik tiba. Jadi kalau setiap tahunnya media selalu mengabarkan ada kelaparan dimana-mana itu dikarenakan masyarakat sudah ketiadaan padi atau beras lagi. Jika kita amati dari dekat, masih ada jagung yang tersimpan di lumbung atau dalam bahasa daerah ‘Bo’ (Ngada), ‘Kebo’ (Ende), atau ‘Lopo’ (Timor). Padahal di kebun sana masih ada pisang, ubi-ubian. Nah, oleh akibat tingginya tingkat ketergantungan masyarakat NTT itu pada nasi atau beras itulah maka dikhabarkan media massa bahwa ada kelaparan dimana-mana.
MK : Berbicara soal produksi jagung dari segi geografis apakah kondisi NTT mendukung peningkatan produksi jagung sesuai target?
AT : Semenjak pertama kali bergulirnya program jagungnisasi tahun 2008, sebagai dinas teknis sudah banyak kajian-kajian teknis yang mendalam sebelum menjalankan program. Diantaranya mendata dan menetapkan wilayah-wilayah strategis yang menjadi sasaran pengembangan jagung. Selain itu dilakukan sinkronisasi program lintas sector baik di provinsi maupun kabupaten/kota. Sehingga output yang dicapai pada tahun pertama, pada musim tanam (MT) 2008/2009 secara data terlihat ada peningkatan produksi jagung. Dan peningkatan produksi jagung ini terus berlangsung hingga MT 2010/2011.
MK : Bisa dijelaskan secara rinci rata-rata capaian produksi jagung pertahunnya?
AT : Secara angka produksi jagung dalam tiga tahun terakhir, angka produksi jagung dari petani NTT ada trend meningkat namun tidak seberapa. Ada banyak persoalan yang kita temui di lapangan selain persoalan kondisi alam serta iklim yang ada. Faktor sosial budaya masyarakat setempat juga merupakan sisi lain dari permasalahan yang ada. Sudah menjadi budaya kalau petani kita menanam jagung hanya untuk kebutuhan konsumsi keluarga. Masyarakat belum sampai berpikir bagaimana prospek ke depan jika melipatgandakan jumlah areal tanaman jagung yang berdampak pada peningkatan ekonomi keluarga.
Dengan adanya program jagungfnisasi ini, Dinas Pertanian dan Perkebunan Provinsi NTT terus melakukan pembenahan dengan memberikan penyuluhan-penyuluhan secara berkala di tingkat petani. Selain itu intervensi dari berbagai dinas/intansi atau kerjasama lintas sector untuk mensinergiskan program yang ada, baik antar instansi di tingkat provinsi maupun di kabupaten/kota. Dan hasilnya pada tiga tahun terakhir ini produksi jagung di kalangan petani mengalami peningkatan. Dari data yang ada produksi jagung tahun 2008-2010 jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan produksi rata-rata tiga tahun sebelumnya. Pada tahun 2008 angka kenaikan produksi mencapai 676,044 ton. Tahun 2009 mencapai 638,901 ton dan tahun 2010 mencapai 653,620 ton atau kenaikan rata-rata tiga tahunan sebesar 656,188 ton. Sedangkan tiga tahun sebelumnya hanya mencapai 549,920 ton atau selisih 106,268 ton (2008-2010). Capaian target tahun 2008-2010 diatas angka rata-rata target pada tahun 2005-2007 ini terwujud di lapangan karena kita lakukan diversifikasi tanaman.
MK: Sampai kapan target ‘mimpi’ NTT Provinsi jagung itu menjadi kenyataan?
AT : Berbicara soal target itu relative dalam sebuah program pembangunan. Akan tetapi dari angka produksi seperti yang saya jelaskan terdahulu, dari tahun ke tahun selalu meningkat. Itu artinya kesadaran masyarakat untuk menanam dan terus mengkonsumsi jagung (pengganti beras) menunjukkan trend meningkat. Dimana secara angka per penduduk mengkonsumsi pangan (jagung) mencapai lebih dari 41 kg perkapita pertahun dari keadaan sebelumnya hanya kurang dari 36 kg. Tinggal sekarang upaya pemerintah provinsi maupun pemerintah kabupaten/kota untuk secara sinergis dan simultan mengangarkan dana secukupnya untuk perluasan lahan produksi dan peningkatan produksi jagung dalam setiap tahun. Sejalan dengan perhatian Menteri Pertanian bahwa NTT sebagai salah satu sentra produksi jagung maka bantuan pengadaan benih jagung sebagian besar berasal dari dana APBN. Sehingga pada tahun 2011 dar kemnterian Pertanian mengalokasi sejumlah dana untuk pengadaan benih jagung Komposit dan benih jagung hibrida, yang pengalokasiannya langusng ke kabupaten sasaran. Sedangkan secara regional Pemerintah NTT pada tahun 2011 mengalokasikan dana APBD Provinsi sebesar Rp 3.760.500.000 untuk pengadaan benih komposit sebanyak 4-6 ton. *
Oleh: Marthen Radja