Hi quest ,  welcome  |  sign in  |  registered now  |  need help ?

Viktor Lerik Jadi Tumbal Politik Elite Golkar?

Rabu, 08 Februari 2012 | 05.11



           Foto/yesayas: Viktor Lerik, SE,  Mantan Ketua Golkar dan Mantan Ketua DPRD Kota Kupang.



KOTA-Online (Kupang) KETIKA masih kecil di kampung, pernah saya diingatkan oleh orang tua bahwa jangan pernah mencoba menyembah berhala, karena akan sangat berbahaya terhadap diri dan keturunan, jika salah mengelolah-nya. “Kalau kamu tidak dengar apa yang beta nasihati, kamu dan keturunananmu bisa jadi “tumbal” (korban-ganti).” Biasanya “tumbal” itu, selalu terjadi dalam lingkup keluarga, bisa orang tua dan atau bisa anak atau cucu dari si penyembah berhala tadi. 
Betulkah dendam politik antara mendiang SK Lerik dan mantan Wakil Walikota Daniel Adoe hingga hari ini belum jua redup? Upaya saling menjatuhkan dan saling menjegal dalam posisi maupun kepentingan politik di Kota Kupang terus terjadi dalam beberapa episode bahkan bisa dibilang hingga alih generasi? Dan Viktor Lerik jadi Tumbal-nya.

Sebetulnya jika menghayati betul ajaran Tuhan maka mestinya tidak ada lagi pikiran balas dendam atau saling terus melukai satu dengan yang lain. Dan, mestinya masing-masing sudah harus menyudahi semua silang sengketa itu, karena kelihatan perbedaan ini terjadi antara dua generasi yang berbeda jauh, Daniel Adoe di satu sisi dan Viktor Lerik pada pihak lain.   

Luka lama kembali kambuh, ketika momentum pembahasan Rancangan Peraturan Daerah  (Ranperda) APBD Kota Kupang 2011 pada Desember 2010. Bahwa ada sedikit perbedaan tafsir tentang Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) antara Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPRD Kota Veky Lerik dengan pihak Eksekutif. Ketika itu, ada alasan-alasan rasional yang sudah dipertimbangkan matang oleh pihak Eksekutif (Pemkot) dalam menyusun RAPBD yang diharapkan tidak perlu dipersoalkan lagi oleh Legislatif.

Selaku Ketua Banggar, tanpa kompromi, Veky Lerik langsung memangkas beberapa pos belanja dalam RAPBD yang diajukan Eksekutif, karena dianggap mubazir alias terjadi pemborosan keuangan daerah besar-besaran. Sebagai Ketua DPRD dan Politisi Golkar, Veky rupanya menangkap ada aroma kurang sedap dalam RAPBD Kota 2011, yakni terjadi sebuah settingan program jangka panjang menghadapi suksesi 2012 oleh orang-orang kunci Kota Kupang.

Disitulah terjadi deadlook dalam pembahasan RAPBD. Eksekutif memboikot sidang. Terjadi stagnasi panjang dalam pembahasan RAPBD Kota Kupang ketika itu, karena saling mempertahankan gengsi dan ego masing-masing.  Sejak Desember 2010 hingga Pebruari 2011 belum juga Pemkot dan DPRD menemukan simpulnya. Sebagai Walikota dan politisi senior, Daniel Adoe naik pitam. Situasi politik kota mulai memanas. Ketika itu cukup meruncing. Resistensi masing-masing anggota betul-betul terlokalisir. Masing-masing bicara tentang kepentingan. Gengsi pribadi dan gengsi partai jauh lebih kuat ketimbang kepentingan warga pada skop yang lebih luas.
Bukan sekedar Beda Pendapat

Kelihatan di sana, bukan hanya sekedar beda pendapat soal APBD 2011 itu, tetapi sudah menggiring keluar dari substansi persoalannya. Ada dasar alasan untuk itu. Terendus issu bahwa telah terjadi distribusi kepentingan besar orang-orang kunci di Pemkot Kupang menghadapi suksesi 2012, pada beberapa pos belanja dalam rancangan APBD kota 2011 yang tidak lagi rasional. Apakah benar analisa sementara warga kota ini? Tidak bisa dibenarkan begitu saja. Tentu masih diperlukan suatu analisa dan kajian lebih jauh.

Tapi apakah betul itu pokok alasan, yang menyebabkan Ketua Badan Anggaran DPRD Kota mengurangi jumlah dari beberapa pos anggaran yang diajukan oleh Pemkot dalam APBD 2011? Sampai hari ini kunci jawaban itu belum juga jatuh ke tangan Mingguan KOTA. Tapi yang jelas, terhadap berbagai bentuk dugaan warga kota atas persoalan ini mesti dijawab dengan kepala dingin, transparan dan jujur, tanpa harus marah dan bersikap tendensius lalu saling menikam.
Adalah benar polemik itu sudah sampai tingkat perseteruan. Faktanya, pertama Pemkot memboikot sidang dengan cara tidak mau hadir dalam persidangan. Kedua terjadi aksi mosi tidak percaya dari 21 anggota Dewan terhadap Ketua DPRD Veki Lerik, ketiga sebanyak 21 anggota Dewan menolak Veki Lerik memimpin sidang. Akibat yang muncul, terjadi keterlambatan pembahasan anggaran tahun 2011. Berikut tidak ada lagi harmonisasi antara Dewan dengan Eksekutif maupun antara Ketua DPRD dengan lebih separuh anggota DPRD Kota Kupang.

Merasa prihatin dengan keadaan ini berbagai pihak ikut campur tangan. Berbagai loby terus dibangun. Ruang-ruang rekonsiliasi pun dibuka dan pihak-pihak yang bertikai diajak mencari solusi, guna segera mengakhiri sengketa dua lembaga besar yang mengurus isi perut warga kota itu.

Gayung bersambut. Berbagai media baik cetak maupun elektronik ramai mengekspos sikap kompromi politik dari Ketua DPRD Kota Viktor Lerik yang  menjadi tokoh kunci perseteruan itu. Viktor Lerik kemudian menyatakan rela tidak pegang palu pimpinan asal sidang pembahasan rancangan APBD 2011 kembali digelar. Sebuah langka maju, meski ada sejumlah anggota DPRD Kota terus mempersoalkan tanda tangan Viktor Lerik sebagai Ketua DPRD yang mengundang para Wakil Ketua dan anggota guna melakukan serangkaian pertemuan. Mereka tetap pada sikap awal bahwa secara prinsip politik baik per-fraksi maupun secara personal tetap menolak Viktor Lerik dalam bentuk apapun, termasuk tidak boleh menandatangani surat undangan. Anggota yang konsisten dengan sikap menolak Viktor Lerik itu, sungguh tidak berdiri sendiri tetapi mereka mengemban kebijakan  organisasi yang mengusung mereka ke lembaga terhormat itu. Pertanyaan; apakah betul ini sikap politik organisasi dan para anggota DPRD ini, atau ada kolaborasi keinginan antara elit Pemkot dengan para wakil rakyat untuk ‘menghabisi nyawa’ Viktor Lerik? 

Di lain sisi, Viktor juga tetap pegang kuat pada aturan yang berlaku. Bahwa, dia menjadi Ketua DPRD Kota Kupang bukan karena dipilih oleh anggota DPRD Kota, tetapi itu perintah undang-undang. Sehingga sepanjang hak-hak-nya belum dicabut dengan undang-undang yang baru, maka posisinya masih tetap kuat sebagai Ketua DPRD. Dengan demikian Viktor masih punya power dan wewenang penuh melaksanakan berbagai tugas sebagai Ketua DPRD termasuk memegang palu kepemimpinan.

Perbedaan prinsip ini dianggap sudah mencair, ditandai dengan selesainya pembahasan Ranperda APBD? Menurut kami, sepanjang  masing-masing masih berdalih sama-sama dalam posisi benar maka barangkali persetruan ini terus berlajut hingga alih generasi. Agak sulit memang. Sudah diseret jauh ke ruang privat sehingga yang mencuat adalah saling jaga wibawa, gengsi dan martabat. Tambah lagi antara sesama teman anggota dewan saling mengintip, takut dibilang tidak konsisten, takut diberi cap pengecut.

Ketika itu Viktor Lerik berdiri tunggal, terkesan single fighter, menahan serangan dari berbagai arah. Bagamana ia meladeni serangan dari semua rekan di DPRD yang nota-bene adalah politisi pilih tanding. Bagimana pula dia menangkis serangan keras dari sejumlah elite birokrasi yang membangun perlawanan terbuka.  

Sebagai anak muda yang baru belajar berpolitik Viktor akhirnya kalah juga. Dia tidak mampu mengimbangi pertarungan itu. Buntutnya, Viktor Lerik kemudian diexit dari jabatan sebagai Golkar Kota Kupang yang kemudian diganti oleh setru politiknya Daniel Adoe. Belakangan ada kabar tak sedap bahwa Viktor Lerik segera dilengserkan dari posisi sebagai Ketua DPRD Kota Kupang, karena dianggap ada  kesalahan baru yang dibuatnya. Issunya, Viktor merestui tuntutan warga Bakunase soal penolakan pembangunan rumah ibadah di Bakunase? tapi tidak juga, ini sebuah rentetan panjang dari sebuah persetruan yang berestafet.**
Oleh: Yesayas Petrusz