Hi quest ,  welcome  |  sign in  |  registered now  |  need help ?

Efek Warga Kota

Kamis, 29 Desember 2011 | 20.54

Kota Online [KUPANG] - SIAPA sangka, Kota Kupang sudah begini pesat. Kota yang suhunya rata-rata di atas 30 derajat celsius, mestinya membuat orang tidak betah. Kota Kupang yang kering-kerontong, terekspous kekurangan air bersih, malah menjadi magnet bagi lebih banyak orang kerasan tinggal di sana. Tentu ada sesuatu yang menjanjikan. Ada harta karung yang bernilai ekonomis. Ada masa depan yang masih terkubur di sana.   

Kawasan yang sebelumnya dipenuhi batu-cadas, ilalang kering, pepohonan tuak kering, pepohonan duri, kini sudah berubah. Pada siang hari kendaraan roda dua, roda empat mewah berderet panjang tumpah ruah memenuhi semua badan jalan protokol hingga ke jalan-jalan kecil.

Pada malam hari sinar lampu jalan berpadu lampu-lampu kenderaan menembus hingga ke dalam ruang gedung-gedung megah. Berbagai corak dan gaya menambah semarak kota pada malam hari, apalagi ditambah dengan riuh rendah suara musik dari diskotik berjalan atau biasa disebut ‘oto bemo’ (angkutan umum Kota Kupang) yang menawarkan bentuk lain dari berbagai jenis hiburan.

Sementara sisi lain dari kehidupan kota, orang hampir semakin sulit menemukan lahan kosong. Semua areal tanah di kota ini atau di tempat-tempat strategis kabarnya sudah dibayar lunas para konglomerat dan saudagar kaya. Para pejabat birokrasi juga konon punya aset miliaran rupiah ditanam di sana. Kawasan yang dulunya menjadi jalur hijau, sekarang menjadi pusat-pusat bisnis ramai.   

Dalam hitungan hari, tempat-tempat kosong itu disulap menjadi pusat-pusat belanja. Di sana-sini, menjulang tinggi gedung-gedung bertingkat, rumah toko (Ruko) berbanjar selayang pandang. Gedung megah, rumah mewah berukuran kecil hingga besar menghiasi kota ini. Semua orang mudah merubah gaya hidupnya. Mau ganti model pakaian hari ini mudah saja. Ingin merubah menu makan yang siap saji dengan berbagi cita rasa, kapan saja ada, tidak sulit. Singkat cerita, Kota Kupang sudah cukup mampu menyajikan berbagai jasa dan kebutuhan lux bagi penghuninnya.

Radius kota yang cukup luas, kini mudah dijangkau dalam hitungan detik. Di setiap sudut jalan ada penjaja jasa sepeda motor (ojek) yang ramah-tamah, mereka siap antar jemput tamunya. “Bapa ojek ko…? Beta (saya) antar sampai di tempat, bapa hanya bayar Rp. 5000, sa (saja)” kata Adi Ndolu, seorang ojek di Naikoten. Ada rental mobil yang stand by melayani para pengguna jasanya. Ada rental komputer dimana-mana, ada warung internet (Warnet) yang kapan saja bisa dimanfaatkan untuk berakses dengan dunia luar.

Mau cari hiburan? kini sudah tersedia aneka bentuk hiburan yang terkonsentrasi pada beberapa lokasi hiburan, sehingga tidak sulit dicari. “Kalo hari libur atau hari Minggu, saya bawa anak-anak selalu pi (pergi) main di Flobamora Mall. Karena di sana ada banyak hiburan anak-anak. Lagian kalau anak-anak lapar bisa langsung makan di KFC,” kata ibu Mery, warga Kota Kupang.

Jarang menjumpai penduduk asli di kawasan-kawasan ramai. Kota Kupang sudah dikuasai para pengusaha kaya. Tingkat persaingan hidup di Kota Kupang sangat tinggi. Karena disana ada banyak politisi cerdas, para ahli (teknokrat) muda berkeliaran, para ekonom gaek, kaum ilmuwan menjamur, cendikiawan, budayawan, seniman, para pengrajin terampil, juga para pekerja keras, semua sedang berhamburan di kota ini. Mereka mengejar ambisi masing-masing, berlomba mencari untung.

Artinya hari demi hari, Kota Kupang terus menggiurkan. Kota Kupang yang sepuluh tahun silam “tembus pandang” masih berbentuk padang safana, kini berubah menjadi pusat-pusat belaja yang ramai dikunjungi. Tempat-tempat strategis sudah menjadi milik para konglomerat dan saudagar kaya. Di berbagai jalan protokol hampir tidak lagi terlihat  bangunan kuno, rumah-rumah dengan konstruksi klasik berubah menjadi bangunan antik ala Eropa.

Dalam hitungan bulan, menjulang gedung-gedung bertingkat, berdiri rumah-rumah susun, toko-toko bertingkat megah tegak tinggi, rumah mewah berukuran kecil hingga besar terlihat dimana-mana. Hotel-hotel berbintang mulai bertebaran dengan berbagai tawaran jasa pelayanan yang cukup aduhai. “Kita datang di Kupang cuma satu atau dua malam tidak perlu tinggal dengan keluarga, karena ada penginapan yang murah meriah, dengan pelayanan yang cukup baik,” kata Pdt.  Bram Lewelipa, asal Kisar, belum lama ini.  

Pada sisi lain, di jalan-jalan umum, berbagai jenis  kendaraan roda dua dan empat lalu lalang tiada henti. Pada beberapa jalan protokol mulai terasa macet pada titik-titk trafick light. Sementara pada ruas-ruas jalan tertentu bahkan di tempat penyeberangan hampir tidak ada cela bagi warga pejalan kaki.

WARGA PINGGIRAN
Kategori warga pinggiran dalam konteks ini adalah mereka yang benar-benar berada di bawa garis kemiskinan. Takaran orang miskin dalam masyarakat kota yakni mereka yang tidak mampu bersaing dari sisi ekonomi. Mereka yang memiliki pengetahuan sangat terbatas, (tidak pernah mengenyam pendidikan). tinggal di gubuk-gubuk belantai tanah,  sehari mampu makan hanya sekali Komunitas warga pinggiran ini lebih suka hidup berkelompok.

Warga pinggiran bukan saja penduduk asli Kota Kupang yang tinggal jauh dari keramaian kota, tetapi mereka terdiri kaum urban yang datang dari berbagai pelosok di NTT. Mereka datang dalam bentuk sendiri-sendiri dan maupun secara berkelompok. “Kami tidak sekolah. Kami datang di Kota Kupang untuk cari pekerjaan, karena di kampong kami tidak punya apa-apa. Tidak ada makanan, tidak ada uang. Orang tua sudah tidak kuat bekerja kebun lagi,” urai Anton Nubatonis warga SoE, yang sehari-hari bekerja mendorong gerobak di pasar Oeba. Anton mengaku datang ke Kupang bersama-sema beberapa teman sekampungnya dan nekat mengontrak sebuah rumah bebak di wilayah Oeba.

Membanjirnya masyarakat dari luar wilayah Kota Kupang, ke kota dengan tujuan mencari pekerjaan terus menjadi fenomena.. Target mencari pekerjaan di kota bukan satu-satunya tujuan, tetapi sekedar ingin menikmati keramaian di kota juga menjadi iming-iming mereka sebelumnya. Di kota mereka bersusah payah mengais rejeki. Ada yang  terpaksai memulung sampah, menjadi buruh bagungnan, menjadi pembantu rumah tangga, dan semacamnya. Dengan demikian hari, bulan dan tahun berganti tetap kondisi kehidupan ekonomi mereka tidak berubah, malahan lebih memrihatinkan. Kondisi ini justru menjadi perosalan social bagi pemerintah kota kupang.

Ada juga komunitas warga pinggiran lian, yang mempertahankan hidupnya dari cara bercocok tanam se-musim. Kelompok masyarakat ini, konon memiliki lahan di pusat-pusat kota namun akibat dari perkembangan dan persaingan mereka menjual lahan-lahan mereka dan memilih menyingkir dan hidup jauh dari pusat keramaian. Dari sana ada yang akhirnya miskip papa lalu terpaksa memilih bekerja  memulung sampah. Ada yang akhirnya menghuni rumah-rumah  bebak, gubuk  bambu beratap ilalang kering. Mereka yang mendapat makan dari belas kasihan orang lain.

Orang-orang pinggiran hidup dari hasil menjual pinang muda, menjual sirih daun, ijuk (serat-serat pohon enau). Mereka juga hidup dari menjual daun ubi kayu, menjual sapu lidi, sapu ijuk dengan berjalan kaki keliling kota.

HAK SAMA 
Warga pinggiran jumlahnya cukup besar. Mereka memiliki hak politik sama dengan warga kota. Dalam konteks Pilkada Kota Kupang, warga pinggiran juga memiliki hak memilih dan dipilih.

Mereka punya akal dan punya martabat. Mereka butuh mendapat sentuhan, butuh perlakuan yang wajar dari pemerintah sebagai bagian dari warga Kota Kupang. Komunitas pinggiran ini perlu juga diberdayakan baik secara sosial ekonomi maupun secara moral. Sebagai warga negara mereka mesti juga diberikan pemahaman sungguh tentang kewajiban mereka.

Oleh: Yesayas Petrusz