Hi quest ,  welcome  |  sign in  |  registered now  |  need help ?

Antara Cinta dan Dendam

Sabtu, 11 Februari 2012 | 23.49


KOTA-Online  (Kupang) - SENJA datang membayang, terlihat sekawanan burung terbang di angkasa, merekahendak pulang tapi entah di mana mereka bertengger. Melihat capung yang berterbangan, aku mencoba melayangkan anganku bersama awan yang tak lagi bergerak di kemerahan langit sore itu.
Pagi yang indah, sang surya mulai memanaskan bumi dengan sinar keemasannya, burung-burung bernyanyi ria menyambut kedatangan hari yang baru. Aku bergegas bangun dari tidurku yang panjang. Segera kubuka jendela kamarku, udara pagi menyapaku dihantar dengan aroma kembang dan embun yang masih membasahi rerumputan turut mewarnai indahnya pagi ini.
 Di usiaku yang belia, aku mau menuntut ilmu menyimpannya sebagai bekal di hari esok, apalagi cita-citaku sebagai seorang dokter. Hari ini, aku harus pergi ke sekolah. Aku bergegas ke ruang mandi. Selesai mandi, aku merias diriku dengan beberapa komposisi make up yang kumiliki. Gayaku simple. Segera kurajut tas hitamku yang telah berisi buku-buku yang telah kusiapkan tadi malam untuk pelajaran hari ini.
 “Ma, aku pergi dulu” ku sapa ibuku yang sedang bekerja di dapur.
 “Sebentar Intan, sarapan dulu baru jalan.” Kata ibuku sambil beregegas ke lemari tempat mentimpan makanan.
 “Kamu tidak makan bisa-bisa sakit” lanjut ibuku memberi nasehat.
 “Tidak usah Ma, aku masih ada uang jajan kemarin, nanti aku jajan di sekolah saja.”
 “Ya sudah kalau begitu, hati-hati Nak.”
 “Iya Ma.” Balasku.
 Aku berjalan ke luar gang untuk mendapati angkot. Sebuah angkot berhenti di depanku, segera aku naik dan angkot tersebut terus melaju sesuai trayeknya. Ku hentikan angkot itu tepat di depan sekolahku. Aku bergegas turun dan memasuki halaman sekolah.
 Sebelum ku melangkah ke halan sekolah, kubiarkan kedua bola mataku menyapu sebagian halaman sekolah. Ternyata belum terlalu banyak orang di sekolah. Hanyalah Sinta, teman kelasku yang tengah duduk sendiri.
 “Selamat pagi Sinta” sapaku saat menemuinya.
 “Pagi Intan” balasnya.
 Pagi yang cerah, langit tak berawan tapi kok mendung dan kabut seakan-akan menutupi wajah si cantik jelita ini.
 “Sinta, kamu kenapa?” Tanyaku
 “Tidak kok Intan!”
 “Tidak enak kamu menyembunyikan kesedihanmu dariku, katakan saja ada apa?”
 Sinta menceritakan apa yang dibuat Roy selama ini. Dia hanya menginginkan tubuh dari wanita cantik ini. Apapun yang diminta Sinta, tidak pernha ia kabulkan.
 “Ya sudah, kamu berusaha untuk melupakan dia. Memang tidak gampang untuk melupakannya, tapi kamu harus mengingat kebaikannya yang pernah ia lakukan selama ini. Jangan mengingat kejelekannya, karena semakin besar kamu mengingat kejelekannya maka akan menambah besar amarahmu terhadap Roy” Jelasku panjang lebar.
 “Aku harus mengingat kebaikannya?? Ah, orang sejahat dia harus kuingat kebaikannya?” Balas Sinta cetus.
 “Bagaimana kamu bisa melupakan dia kalau yang kamu ingat adalah kejelekannya. Itu akan membuatmu marah dan tidak akan pernah kamu melupakan dia. Sebab rasa sakit hatimu akan mengakar dalam jiwamu.”
 Suara kami sedikit membujur ke telinga-telinga dan membelah pagi. Seperti kucing yang sedang bercumbu. Ku angkat kedua bola mataku dari wajah Sinta, dan kulepas pandanganku kearah pintu gerbang. Ternyata Roy sudah berada di sana. Roy menebarkan senyumannya yang dihantar gelombang udara, pas mengenai wajahku. Aku melirik kepada Sinta.
 “Sinta” panggilku pelan. Sangat pelan. Aku mengorek Sinta yang sedang bergulat dengan emosinya.
 “Sinta, kamu lihat ke gerbang.”
 “Sudah kulihat, dari tadi dia di situ” balas Sinta sambil memalingkan muka dariku.
 Tanpa sebuah undangan, Roy mengayunkan langkah ke arah kami. Tak sempat berkata sepatah kata, bel tanda masuk berdering. Segera Sinta menarik tanganku pergi meninggalkan Roy. Sinta sepesti tidak mengenal Roy. Tatapan tajam dari Roy tepat di wajahku. Aku merasa seakan-akan keseluruhan make up simpelku akan luntur dari wajahku. Tapi tatapan itu tak membuat aku merasa kaku karena sejurat senyum yang tersimpul pun datang bersama sorotan mata yang berwarna hitam putih itu. Namun, dalam benakku selalu bertanya-tanya, mengapa dia lebih memperhatikan aku disbanding Sinta.
 Sesampainya di kelas, Nita menjelaskan bahwa Roy sebenarnya tidak mencintai dia, dan hubungan mereka sudah berakhir kemarin malam. Aku menjelaskan kepada Sinta bahwa Roy selalu memerhatikanku tadi. Sesekali ia memberi senyum kepadaku.
 “Bagus!” seruannya mengejutkanku.
 “Apa yang bagus?” tanyaku.
 “Kita bisa memanfaatkan kesempatan ini.”
 “Maksud kamu?”
 Aku semakin tidak mengerti.
 “Dia suka padamu” jawab Sinta.
 “Dari mana kamu tahu?”
 “Kamu seperti belum pernah pacaran saja. Kamu harus bantu aku, untuk mengajari dia tentang perasaan. Tapi ingat, kamu dan aku adalah sahabat, jadi aku tidak mau kejadian pahit yang telah kurasakan menimpamu juga. Oleh karena itu, jika kamu menjalin hubungan dengan dia, jangan gunakan perasaanmu tapi gunakan pikiranmu bahwa kita akan memberi pelajaran baginya. Aku harap kamu bisa mengerti, Roy adalah laki-laki yang menginginkan tubuh wanita”.
 Penjelasan yang begitu panjang terekan dalam kotak hitamku. Coba saja semua pelajaran bisa terekam cepat seperti ini, aku pasti jawara di sekolah ini. Bicara soal cinta aku lebih mudah mengerti, tapi berbicara tentang pelajaran sangat sulit untuk dipahami. Mungkin pembelajaran harus dengan perasaan.
 Seperti yang dikatakan Sinta, Roy benar-benar mencintaiku. Tanpa berpikir panjang, aku menerima cintanya hanya untuk membantu sahabatku, dan sekarang Roy telah masuk dalam perangkap kami.
 Kini, angkot bukanlah pilihanku sebagai pembantu kakiku. Kemanapun aku pergi, Roy selalu disamping bersama suzuki satria kebanggannya.
 Sesekali aku iba, karena Roy harus mengantar adik-adikkku ke sekolah, setelah itu aku bersama dengan dia ke sekolah. Pulang dari sekolah aku pun diantarnya. Tanpa istirahat, dia kusuruh untuk menjemput adik-adikku dari sekolah. Ibu sangat senang melihat Roy. Roy selalu menuruti apa yang kuinginkan. Ibu tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Aku hanya membantu Sinta untuk membalas dendamnya.
 Peristiwa itu sudah berlangsung satu purnam. Aku merasa bersalah. Aku juga manusia yang punya rasa. Aku menangisi apa yang telah kulakukan, sementara Sinta tertawa mendengar cerita-ceritaku bersama Roy karena keinginannya sudah terlakasana.
 Kali ini aku menjalani hubungan kami dengan perasaanku. Aku sudah berbuat banyak kesalahan terhadap Roy. Aku mau jadi wanita yang sempurna, mencintai tanpa memandang warnanya. Sesungguhnya cinta bagai matahari yang tidak memilih siapa yang ia sinari. Bagiku, Roy adalah cinta terakhirku. Aku tidak peduli apa yang nantinya dikatakan Sinta.
 Aku benar-benar mencintai Roy, hubungan kami semakin erat. Ya sangat erat, apalagi ibu sudah mengetahuinya. Kadang kala kami keluar malam bersama.
 Saking eratnya hubungan kami, aku terbawa ke dalam lautan api. Sesuatu yang tidak kuinginkan dalam usia beliaku terjadi. Aku telah hamil. Aku malu dengan teman-teman di sekolah kalau mereka tahu keadaanku. Aku malu dengan Sinta, apalagi Ibu. Ibu sangat marah melihat keadaanku, sementara Roy sudah pergi jauh entah ke mana. Ternyata aku jatuh ke jurang yang amat dalam.
 Untuk menyembunyikan keadaanku, korset adalah pilihanku. Kain kusut itu selalu setia melilit bakal bayiku. Kali ini, cita-citaku untuk menjadi seorang dokter dipertanyakan oleh batinku. Namun sesekali aku berpikir, aku tidak mau melahirkan seorang anak tanpa status yang jelas, apalagi aku masih berada dalam bangku pendidikan kelas satu SMA.
 Aku minta izin dari kepala sekolah dengan alasan bahwa aku sedang menderita penyakit apendisitis, jadi aku harus menjalani operasi. Pihak sekolah memberi izin dan aku tidak hadir di sekolah beberapa bulan.
 Yang kulakukan adalah mencari orang yang bisa menggugurkan kandunganku. Aku tidak memilih rumah sakit. Aku mendatangi seseorang yang dianggap mampu dalam bidang aborsi yang sering diceritakan oleh teman-teman. Orang itu memberi resepnya kepadaku, dan resep seorang tabib memang harus dibayar dan ia sangat tahu tentang kandungan dan pengobatan. Oleh karena itu aku sangat ingin menjadi seorang dokter yang tahu banyak tentang kesehatan. Yang sekarang aku pikirkan bukanlah cita-citaku, tapi bagaimana aku bisa terlepas dari aib ini.
 Aku mencoba menggunakan resep yang diberikan, namun tidak membuahkan hasil seperti yang kuharapkan. Yang terjadi malah keseluruhan rambutku yang akan terlepas habis dari kepalaku.
 Aku harus mencari orang yang mampu menggugurkan kandunganku. Akhirnya kudatangi seseorang yang menurut Sinta, sahabat yang sekarang turut memprihatinkan keadaanku bahwa orang itu hebat dalam bidangnya, “terbukti ia telah sepuluh tahun mempraktekan pekerjaan ini” kata Sinta untuk meyakinkanku.
Ternyata berhasil, aku bisa sekolah kembali dan mengucapkan terima kasih kepada Sinta, sementara Roy tidak kelihatan ujung hidungnya lagi di sekolah.
Saat aku dan sinta sedang berada di kantin sambil meneguk es sirup yang kami pesan, aku merasa dinginnya minuman itu sampai di bagian daerah terlarangku. Dinginnya terud membasahi pangkal paha sampai ke lutut. Kali ini aku harus memerhatikan apa yang sebenarnya terjadi dengan rasa dingin ini.
“Ya Tuhan, tolong!!!” teriakku menggelepar seakan-akan meruntuhkan bumi, bagai guntur memecah kesunyian malam. Terjadi pendarahan yang hebat. Aku tak sadarkan diri lagi.
“Intan, masuk!!! Sudah malam begini kamu masih di luar.” Suara itu mengejutkanku dari lamunan yang begitu panjang. Ternyata ibu sudah memanggilku dari tadi. Aku merasa Intan bukanlah namaku.
Aku sangat bersyukur, masih ada orang yang mencintai dan menolongku. Walaupun badanku yang kurus dan kepalaku yang tak berambut, aku masih tetap diberi izin dari Sang Pencipta untuk menikamati hari esok.
Oleh:  Eddy Maunareng
(Medio Februari 2012)
*) Refleksi maraknya kasus abors