Hi quest ,  welcome  |  sign in  |  registered now  |  need help ?

Otonomi MBD Dibayar Dengan Darah, Nyawa dan Airmata!

Selasa, 07 Februari 2012 | 14.04



 
KOTA- Oline (KUPANG) - MENGAPA Selatan Daya harus jadi kabupaten? Sebuah pertanyaan sederhana, suatu pertanyaan lugu, tapi juga agak kritis. Bahwa sesederhana apapun pertanyaan, tidak bisa dijawab sekedar angin lalu. Tetapi membutuhkan banyak waktu untuk bercerita panjang. Karena ada setumpuk alasan bahkan banyak peristiwa pedih yang lahir dalam proses perjalanan panjang sampai Selatan Daya harus jadi kabupaten. Ulasan tentang cikal-bakal terbentuk MBD ini akan diturunkan secara berseri, mulai edisi ini. Simaklah..!

Wilayah Selatan Daya, yang kini ‘merefresh’ diri menjadi sebuah daerah otonom dengan nama “Maluku Barat Daya (MBD)” sejatinya membentang dari Timur ke Barat diukur dari Pulau Dawlor ke Ustutun - P. Lirang. Sementara dari Utara ke Selatan itu dihitung dari Pulau Damer sampai ke Marsela. Wilayah ini sangat luas. Cukup kaya akan hasil hutan, perkebunan, pertambangan dan perikanan berlimpah. Ironisnya, masyarakat jauh dari harapan kemajuan. Ibarat “seekor tikus dewasa harus mati kelaparan dalam lumbung padi.”

Sungguh hari ini, bukan lagi ia berstatus sekedar menjalankan administrasi pemerintahan yang bersifat sentralistik, tetapi kepulauan yang terlupakan (the forgotten island) itu, saat ini sudah menjadi sebuah KABUPATEN yang kepala wilayahnya seorang Bupati (duhulu KDH Tingkat II). Itu berarti, ada cukup besar kewenangan dari pemerintah pusat diserahkan kepada pemerintah yang otonom itu untuk sesegera memperbaiki kondisi sosial ekonomi sub etnis ini. Di dalam wilayah ini, warga masyarakat juga punya kebebasan dan hak untuk menangkap dan memanfaatkan berbagai peluang serta potensi yang ada demi membangun diri segera keluar dari lilitan kemiskinannya. Singkat kata; lahirnya Otonomi baru ini, merupakan manivestasi politik dari sebuah pengorbanan warga MBD dalam mencari identias sempurna, sebagai warga nasional di negeri ini.

Masyarakat di kawasan paling selatan Maluku itu, hari ini boleh mengelus dada, bebas memilih, mengolah dan menikmati berbagai kekayaan sumber daya alam yang tersedia di perut kawasan itu. “Kita sudah berdiri sama tinggi. Kita sudah bertindak setarah. Kita sudah duduk sederet dengan warga wilayah lain di kursi paling depan. Kita tidak dipandang lagi sebagai penduduk belakangan tanah (istilah ini selalu dipakai oleh etnis Ambon, bagi masyarakat di Tenggara ‘pada zaman tidak enak dulu’). Dengan sendirinya kata “terbelakang” perlahan mulai lenyap dalam literatur ‘bahasa’ di ‘perpustakaan’ provinsi seribu pulau ini.

Menarik memang. Ketika mengumpulkan berbagai dokumen dan catatan-catatan yang tercecer, banyak sekali kisah memilukan dalam cerita perjuangan mengubah status kepulauan Selatan Daya menjadi sebuah wilayah yang otonom. Ada suka dan bahkan ada duka yang berkepanjangan, hampir tidak berujung. Pahit-getir kehidupan para pejuang dan perintis (founding fathers) hingga alih generasi pejuang niscaya memberikan referensi penting bagi generasi berlanjut. Menjadi aset abadi yang harus dilestarikan demi anak cucu sebagai ahli warisnya.

Sebagai anak negeri yang paham betul soal kondisi obyektif wilayah Selatan Daya, secara tulus-hati harus memberikan penghargaan dan menyatakan rasa hormat yang mendalam bagi para tokoh dan perintis yang telah menghadap sang pencipta oleh karena rela berkorban demi perjuangan itu. Juga bagi para penerus perjuangan yang tanpa pamrih, mengorbankan diri, tidak mengenal hujan-panas, tanpa membedakan siang atau malam, menahan lapar dan haus, meninggalkan keluarga, melarat-merana demi memperjuangkan sebuah status. Perjuangan ini sungguh telah meminta tebusan jiwa, darah dan airmata, sehingga harus diberi penghargaan. Sungguh ada fakta yang tak terbantahkan. Ada pula nilai yang tak terukur.
Bukan Belas Kasihan Pemerintah Provinsi
Secara sadar boleh kita katakana, bahwa lahirnya daerah otonomi baru di wilayah paling selatan Maluku ini, bukan akibat dari rasa belas kasihan pemerintah provinsi, atau bukan karena niat baik dari pemerintah kabupaten Maluku Tenggara-Tual atau dari kabupaten induk-MTB, akan tetapi tekad untuk memisahkan diri dari induk semang Kabupaten MTB merupakan realisasi murni dari wacana panjang para tokoh Selatan Daya sejak Tahun 1960-an. Dengan kata lain ide pembentukan daerah otonom, sudah digulirkan sejak lama. Ketika itu lahir dengan nama ‘pamalinya’ Kabupaten KIBAR (Kisar-Babar).

Sejarah mencatat, pra Kongres Rakyat Selatan Daya, yang dilakukan di Wonreli Kisar pada medio Agustus tahun 2000 merupakan awal dibuka kembali agenda perjuangan pembentukan daerah otonom Selatan Daya. Para tokoh penggagas yang terdiri dari beberapa generasi muda dan termasuk di dalamnya ada sejumlah tokoh tua (maaf, sengaja untuk tidak disebutkan nama-namanya) telah menghasilkan beberapa rumusan penting dan strategis yang salah satu diantaranya adalah menggelar kongres rakyat I di Wonreli Kisar.

“Gayung bersambut.” Secara spektakuler para tokoh masyarakat dari berbagai pelosok Selatan Daya, (Dawlor sampai Ustutn-Lirang) dari Kupang-NTT, Ambon dan dari Jakarta berhasil dipersatukan di Wonreli-Kisar pada awal Desember 2001, demi Kongres Rakyat I itu. Perhelatan politik akbar rakyat Selatan Daya ini diciptakan sebagai sarana menampung aspirasi dan membulatkan tekad rakyat Selatan Daya untuk kembali berjuang menghadirkan daerah otonom itu. Kongres ini memiliki posisi yang sangat strategis dan patut kita jadikan sebagai tonggak sejarah dalam proses perjalanan sejarah kabupaten ini.

Beberapa keputusan politik penting yang dihasilkan dalam Kongres Rakyat Selatan Daya I adalah memperjuangkan Daerah Otonomi Selatan Daya dan pembentukan Dewan Otonomi Selatan Daya (DOSD) dengan kantor operasional berkedudukan di Kupang, Nusa Tenggara Timur. Tindak lanjut dari hasil keputusan Kongres Rakyat Selatan Daya I, pada bulan Mei 2002, kantor operasional DOSD berhasil menggelar sebuah Lokakarya Persiapan Otonomi Selatan Daya. Bahwa, kehadiran Kabag Kesbangpollinmas Drs. Gerson Lambiombir ketika itu dari Saumlaki mewakili Pemkab MTB dalam lokakarya di Kupang merupakan awal dari keterlibatan pemerintah secara formal dalam proses pembentukan otonomi Selatan Daya.
Mengusik Ketentraman Pemkab MTB

Keterlibatan pemerintah MTB ini mulai memberikan harapan pasti bahwa, tidak lama mungkin masyarakat Selatan Daya berpisah dari induknya. Idealisme masyarakat Selatan Daya membentuk daerah otonom justru mengusik ketentraman Pemkab MTB, yang dalam hitungan waktu, baru seumur jagung menjadi kabupaten. Dapat dikatakan, Pemkab MTB yang baru terpisah dari Maluku Tenggara-Tual belum ‘puas’ menikmati kebebasan menjelajah wilayah Selatan Daya yang kaya raya.

Bahwa dalam tataran atmosfir politik Pemkab MTB, para elit pemerintah MTB justru menangkap keinginan masyarakat Selatan Daya itu semata-mata sebagai isu politik yang secara apik dikelola menjadi sebuah instrumen politik yang strategis untuk digerakan setiap saat ketika dibutuhkan. Alhasil, meskipun baru dua periode pemerintahan berlangsung di MTB, sudah tergambar dikotomi yang kuat di kalangan masyarakat. Ada kelompok yang punya kepentingan ingin MTB mekar, ada kelompok yang punya kepentingan meraup hasil dari bumi Selatan Daya, ada pula kelompok yang bersikap ambivalensi. Ada pula kelompok yang sekedar mencari jabatan politik.

Mencermati konstelasi politik yang kurang menguntungkan masyarakat Selatan Daya, yang ditunjukkan sejumlah elit politik di Saumlaki, beberapa tokoh Selatan Daya di Kupang sepakat menerbitkan sebuah media cetak yang kemudian bernama Tabloid Suara Selatan Daya atau disingkat (SSD). Media ini dimaksudkan sebagai sarana sosialiasi otonomi Selatan Daya, sekaligus sebagai wahana informasi mengekspose berbagai kasus dan peristiwa politik di MTB, dan Maluku umumnya. Disadari bahwa penerbitan ini lebih pada atraksi-atraksi publikasi media, ketimbang membangun proses-proses konsientiasi, pendampingan dan penyiapan masyarakat di tingkat akar rumput.
Politik Tarik Ulur

Perlu diakui pula, biaya menjadi salah satu hal yang kurang diantisipasi dalam kongres pertama dan menjadi titik lemah kinerja DOSD dalam melaksanakan keputusan-keputusan Kongres Rakyat I. Lemahnya implementasi program-program sosialisasi dan penyiapan masyarakat ikut memberi ruang kepada elite pemerintah di Saumlaki untuk menerapkan kebijakan politik tarik-ulur dalam pemekaran kabupaten MTB. Sebab mestinya dengan adanya Keputusan DPRD nomor 02/DPRD-MTB/VI/2004 tentang persetujuan DPRD atas pembentukan kabupaten kepulauan Selatan Daya, Pemkab MTB sudah harus memekarkan MTB pada tahun 2005.

Walaupun keputusan DPRD tahun 2004 itu merupkan sebuah langkah maju dalam proses perjuangan otonomi Selatan Daya, namun apabila dicermati mengadung unsur multi tafsir dan berstandar ganda. Keputusan DPRD tersebut merekomendasikan pembentukan Kabupaten Kepulauan Selatan Daya, Kabupaten Tanibar Utara, Kabupaten Babar-Damer dan pembentukan Provinsi Maluku Tenggara Barat.

Terlepas dari tujuan-tujuan baik yang hendak dicapai, perlu dikritisi secara tajam, di dalammya juga tersirat muatan-muatan politik yang tidak saja dapat menciptakan ketidaknyamanan dalam hubungan-hubungan interaksi sosial di dalam kehidupan masyarakat Selatan Daya. Tetapi sekaligus seakan-akan merampas hak politik masyarakat Selatan Daya berkenaan dengan rencana-rencana pemekaran yang akan datang.

Rekomendasi pembentukan Kabupaten Maluku Barat Daya, dan Kepulauan Babar yang merupakan bagian dari perjuangan otonomi Selatan Daya, dalam satu keputusan DPRD dapat ditafsirkan bahwa, ada sebagian elit politik yang sengaja membenturkan sesama warga Selatan Daya. Bahwa, pemekaran Selatan Daya dan atau pemekaran Provinsi Maluku Tenggara Barat adalah hak politik masyarakat Selatan Daya.

Kondisi ini terus dibiarkan oleh Pemkab MTB. Strategi politik tarik-ulur pemekaran Kabupaten MTB terus diterapkan. Berbagai macam cara dan dalih sengaja dipakai untuk memperpanjang waktu pemekaran MTB. Salah satu bentuk ketidak seriusan Pemkab MTB adalah sengaja mempetieskan data base tentang kelayakan Wilayah Selatan Daya menjadi daerah otonom (sesuai penjelasan resmi Kabag Otda Pemprov. Maluku, Mukti Labetubun pada Kongres Rakyat II, ketika itu Mukti tampil mewakil Pemrov. Maluku menyampaikan materi). Perilaku acuh-tak acuh sejumlah elit Pemkab. MTB itu memunculkan resistensi baru dari sebagian kalangan generasi penerus perjuangan kabupaten Selatan Daya.
Kongres Rakyat II, Langkah Taktis 

Lalu pada akhir Juni tahun 2007 secara maraton Kongres Rakyat Selatan Daya II pun digelar di Ambon-ibukota Provinsi Maluku. Perhelatan politik periodik warga Selatan Daya ini dilakukan sesuai dengan amanat Kongres Rayat I, yang mengamanatkan Kongres Rayat berikutnya akan dilakukan secara bergilir di ibukota kecamatan di Selatan Daya. Pertimbangan memindahkan lokasi Kongres Rakyat Selatan Daya II ke Ambon merupakan sebuah upaya yang strategis. Sarat muatan politik pemaksaan kehendak kepada pemerintah provinsi bahwa, segera menjawab tuntutan Rakyat Selatan Daya. Pemerintah Provinsi Maluku segera menindaklanjuti berbagai rekomendasi yang sudah dikeluarkan baik oleh DPRD dan Pemkab MTB maupun DPRD dan Pemprov. Maluku kepada pemerintah pusat.

Pada simpul ini, saya dapat katakan bahwa Kongres Rakyat Selatan Daya II di Ambon merupakan langkah positif, dan saya secara obyektif  saya menilai memiliki posisi bergaining politik yang strategis. Gagasan menggelar Kongres Rakyat II di Ambon adalah langkah taktis dan punya daya paksa yang sangat kuat terhadap Gubernur Maluku untuk lebih mempercepat proses pembentukan Otonomi baru di Selatan Daya. *
Oleh: Yesayas Petrusz
(catatan reflektif)