KOTA-Online (SEMARANG) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) menyesalkan Indonesia masuk daftar hitam negara-negara yang gagal memenuhi standar internasional antipencucian uang.
"Kami menyesalkan Republik Indonesia di- blacklist karena gagal mengatasi money laundering'," kata fungsionaris DPP PDI Perjuangan, Eva Kusuma Sundari di Semarang, Minggu (19/2) pagi.
Sebelumnya, dalam pertemuan Financial Action Task Force (FATF) di Paris, Prancis, Jumat (17/2), seperti dikutip Reuters, Sekretaris Eksekutif FATF Rick McDonnell menganggap Indonesia tidak mampu memenuhi rekomendasi yang dibuat untuk memerangi pencucian uang dan pendanaan terorisme.
Bahkan, pada Oktober 2011, Badan Pengawas Pencucian Uang Internasional itu telah memperingatkan Indonesia bersama 17 negara lain agar mengatasi ketertinggalan pelaksanaan standar internasional.
Diakui oleh FATF, saat itu, bahwa Indonesia telah membuat perkembangan signifikan dengan menerbitkan undang-undang antipencucian uang. Namun, masih terdapat tiga kekurangan.
Pertama , belum mengkriminalkan pendanaan teroris. Kedua, belum menetapkan dan mengimplementasikan prosedur yang memadai untuk mengidentifikasi serta membekukan aset teroris.
Ketiga , masih perlu mengamendemen dan menerapkan undang-undang atau instrumen lain agar dapat sepenuhnya melaksanakan "Konvensi Internasional untuk Menekan Pendanaan Terorisme" yang dikeluarkan pada 1999.
Eva, yang juga anggota Komisi III DPR RI itu menyayangkan Indonesia belum memenuhi rekomendasi dari FATF hingga batas waktu yang telah ditentukan, Februari 2012.
"Hal itu merupakan set back dan menunjukkan pemerintah tidak melakukan usaha yang berarti bagi upaya deradikalisasi," kata Eva yang juga wakil rakyat berasal dari Daerah Pemilihan Jawa Timur VI itu.
Begitu pula, kata dia, penegakan hukum yang lemah plus absennya komitmen politik dari para pejabat untuk menumpas radikalisasi merupakan penyebab utamanya.
"Ormas-ormas radikal dan anarkhis saja leluasa beraksi secara terbuka. Tentu mudah pula bagi gerakan bawah tanah untuk mengorganisasi diri," kata Eva yang juga anggota Departemen Kaderisasi DPP PDI-P itu.
Ia menyatakan, tidak mengherankan bila FATF menyejajarkan RI dengan Pakistan, Iran, dan Ghana dengan alasan gagal memenuhi standar internasional, terutama karena tidak dapat mengatasi aliran dana ke kelompok terorisme.
Ia menegaskan kembali bahwa hasil dari FATF itu menunjukkan adanya kemunduran kinerja dalam penindakan "money laundering" berkaitan dengan aktivitas terorisme. "Saya curiga bahwa mereka menumpangi kelemahan integritas penegak hukum kita sehingga terorisme seperti dapat 'pull factor'," katanya.
Ia mempertanyakan komitmen kepolisian terhadap penegakan hukum terutama menyangkut persoalan tersebut.
"Bagaimana Polri akan menindaklanjuti laporan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) jikalau mereka mem-b acking' bisnis-bisnis ilegal, termasuk penyelundupan BBM?” katanya. [antara/yes]
"Kami menyesalkan Republik Indonesia di- blacklist karena gagal mengatasi money laundering'," kata fungsionaris DPP PDI Perjuangan, Eva Kusuma Sundari di Semarang, Minggu (19/2) pagi.
Sebelumnya, dalam pertemuan Financial Action Task Force (FATF) di Paris, Prancis, Jumat (17/2), seperti dikutip Reuters, Sekretaris Eksekutif FATF Rick McDonnell menganggap Indonesia tidak mampu memenuhi rekomendasi yang dibuat untuk memerangi pencucian uang dan pendanaan terorisme.
Bahkan, pada Oktober 2011, Badan Pengawas Pencucian Uang Internasional itu telah memperingatkan Indonesia bersama 17 negara lain agar mengatasi ketertinggalan pelaksanaan standar internasional.
Diakui oleh FATF, saat itu, bahwa Indonesia telah membuat perkembangan signifikan dengan menerbitkan undang-undang antipencucian uang. Namun, masih terdapat tiga kekurangan.
Pertama , belum mengkriminalkan pendanaan teroris. Kedua, belum menetapkan dan mengimplementasikan prosedur yang memadai untuk mengidentifikasi serta membekukan aset teroris.
Ketiga , masih perlu mengamendemen dan menerapkan undang-undang atau instrumen lain agar dapat sepenuhnya melaksanakan "Konvensi Internasional untuk Menekan Pendanaan Terorisme" yang dikeluarkan pada 1999.
Eva, yang juga anggota Komisi III DPR RI itu menyayangkan Indonesia belum memenuhi rekomendasi dari FATF hingga batas waktu yang telah ditentukan, Februari 2012.
"Hal itu merupakan set back dan menunjukkan pemerintah tidak melakukan usaha yang berarti bagi upaya deradikalisasi," kata Eva yang juga wakil rakyat berasal dari Daerah Pemilihan Jawa Timur VI itu.
Begitu pula, kata dia, penegakan hukum yang lemah plus absennya komitmen politik dari para pejabat untuk menumpas radikalisasi merupakan penyebab utamanya.
"Ormas-ormas radikal dan anarkhis saja leluasa beraksi secara terbuka. Tentu mudah pula bagi gerakan bawah tanah untuk mengorganisasi diri," kata Eva yang juga anggota Departemen Kaderisasi DPP PDI-P itu.
Ia menyatakan, tidak mengherankan bila FATF menyejajarkan RI dengan Pakistan, Iran, dan Ghana dengan alasan gagal memenuhi standar internasional, terutama karena tidak dapat mengatasi aliran dana ke kelompok terorisme.
Ia menegaskan kembali bahwa hasil dari FATF itu menunjukkan adanya kemunduran kinerja dalam penindakan "money laundering" berkaitan dengan aktivitas terorisme. "Saya curiga bahwa mereka menumpangi kelemahan integritas penegak hukum kita sehingga terorisme seperti dapat 'pull factor'," katanya.
Ia mempertanyakan komitmen kepolisian terhadap penegakan hukum terutama menyangkut persoalan tersebut.
"Bagaimana Polri akan menindaklanjuti laporan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) jikalau mereka mem-b acking' bisnis-bisnis ilegal, termasuk penyelundupan BBM?” katanya. [antara/yes]